Menu

Mode Gelap
 

Uncategorized · 3 Feb 2022 22:32 WIB ·

Esok yang Tak Sampai


 Esok yang Tak Sampai Perbesar

Oleh: Erika Nanda

 

Namanya Remi, pemuda berusia 18 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA itu berjalan gontai menuju rumah yang ia tinggali. Dia baru saja pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Remi tidak pernah absen dari rutinitasnya setiap malam, yaitu balap liar dan mabuk-mabukkan. Aktifitas itu sudah ia lakukan sejak kelas 8 SMP. Remi memanglah Remi, anak badung yang nakalnya ga ketulungan. Buktinya saja ia pernah tertangkap polisi karena aksi balap liarnya. Namun, karena ia masih di bawah umur, polisi membebaskan Remi. Neneknya kerap kali menegur, tapi ia abai dan tak jarang berkata kasar kepada neneknya. Remi memang hanya tinggal berdua dengan neneknya, kakeknya meninggal setahun yang lalu dan orang tuanya entah berada dimana. Sejak kecil ia tak pernah tau rupa ayah dan ibunya. Karena hal itu, Remi tumbuh menjadi anak yang pembangkang dan keras kepala.

Keesokan harinya, Remi bangun dengan pusing yang mendera kepalanya. Mungkin itu efek dari mabuknya semalam. Melangkahkan kaki turun dari kasur, ia mencari keberadaan neneknya.

“Nek!” teriaknya.

Karena tak mendapat jawaban, Remi kembali berteriak memanggil. “Nenek! Dimana sih?”

Tergopoh-gopoh sang nenek menimpali.

“Kenapa tho? Nenek habis dari sumur mencuci beras.” jawab sang nenek.

“Remi nanti mau keluar, main sama temen. Pulangnya malam, jadi gausah dicariin.” Sudarmi, nenek Remi, hanya bisa menghela nafas panjang mendengarkan perkataan cucunya. Ia sudah sering dan mungkin saja hafal dengan tabiat Remi.

Mbok ya jangan main saja, bantuin nenek ini lho jualan. Lagipula nanti malam peringatan hari kematian kakekmu, sudah sewajarnya kamu di rumah dan ndak perlu keluyuran.”

“Besok kan masih bisa, Nek. Remi udah janjian sama temen, masa mau dibatalin.

Pokoknya Remi tetep mau keluar main!” Remi menjawab dengan sedikit marah. Memang dasarnya Remi, tidak bisa dinasehati dan tetap ngotot ingin pergi.

“ Ya ndak bisa besok. Kamu ini bagaimana tho, masa duduk sehari saja di rumah

ndak mau?” Sudarmi tetap berusaha membujuk Remi.

“Gabisa, Nek! Ngeyel mulu jadi orang tua!” ucap Remi.

 

“Remi, kita ndak tahu kapan datangnya maut, mungkin saja ini hari terakhir nenek hidup. Nenek minta sama kamu kali ini, di rumah saja, ya?” Sudarmi berkata dengan serius.

“Ngomong apa sih? Bawa-bawa mati segala. Kalo nenek mau di rumah ya silahkan, Remi mau main!”

“Yasudah terserah kamu saja.” Sudarmi berlalu ke dapur.

Selepas mandi dan berganti baju, Remi memutuskan untuk pergi menemui teman- temannya. Ia bahkan tidak sempat makan karena terlanjur kesal dengan perkataan yang diontarkan neneknya tadi pagi. Sesampainya di sana, ia mengambil satu batang rokok dan mulai menyalakannya. Asik bercanda dan mengobrol, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Jadwal Remi untuk tanding balap liar sesuai dengan perjanjian yang telah ia sepakati kemarin. Remi sudah siap dengan motornya. Di depan sana, tampak sang pemandu balap tengah berdiri di antara para pembalap liar malam ini. Bunyi motor yang berisik saling bersahut-sahutan seolah sedang menunjukkan siapa yang pantas menjadi juara. Sampai tiba- tiba, kegiatan tersebut harus terhenti karena teriakan yang memanggil nama Remi.

“Rem! Remi! Berhenti dulu!” teriak orang tersebut.

Rupanya ia adalah Pak Sastro, tetangga Remi. Pak Sastro berlari menghampiri Remi dan berusaha menjelaskan dengan nafas yang putus-putus menandakan ia habis berlari.

“Apasi elah! Ganggu aja orang lagi serius!” jawab Remi dengan kasar.

“Rem, begini” ucapan pak sastro terjeda, “Pulang Rem, nenekmu meninggal. Saya sudah mencari kamu dari tadi tapi ndak ketemu.”

“Jangan bercanda Pak! Ga lucu lawakannya, garing!” Remi berkata antara kesal dan tidak percaya.

“Buat apa saya bercanda. Cepat pulang! Nenekmu sudah selesai dikafani dan mungkin sebentar lagi akan dikuburkan.” Raut Pak Sastro memang tidak menunjukkan jika ia tengah bercanda.

Akhirnya dengan langkah lebar, Remi bergegas pulang. Rumahnya tampak ramai, ada yang menangis juga. Kursi-kursi plastik terlihat sudah tertata rapi di depan rumah. Tak lupa bendera kuning, pertanda memang tengah ada yang meninggal dunia. Ia masih tidak percaya dengan perkataan Pak Sastro, maka ia putuskan untuk melihatnya langsung. Di sana, di ruang tamu, neneknya terbujur kaku dengan kain yang menutupi tubuhnya. Beberapa orang tampak sedang mengaji disamping jenazah Sudarmi. Banyak tetangga yang menyampaikan bela sungkawa dan kata-kata penguat untuknya.

“Yang tabah ya, Le.” Ucap salah seorang tetangga.

 

Remi berdiri di depan pintu, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat ia terima dengan akal sehatnya. Neneknya, keluarga terakhir yang ia punya kini meninggalkan Remi seorang diri. Dia menangis meraung-raung memanggil neneknya. Mulai saat ini ia sendiri, tanpa keluarga juga sanak saudara. Dulu orang tuanya yang pergi, lalu kakek dan sekarang neneknya pun ikut meninggalkan Remi. Jika saja ia tau perkataan neneknya tadi pagi akan menjadi kenyataan, ia rela membatalkana janji dengan teman-temannya dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan neneknya. Nyatanya tidak ada lagi kata esok. Remi bahkan tidak sempat mengucapkan kata perpisahan dan maaf untuk perilakunya selama ini. Penyesalan memang datang diakhir.

TAMAT

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 13 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Antagonisme Politik dalam Persaingan Kekuasaan

14 Februari 2024 - 22:58 WIB

Civitas Academica Bergerak, Selamatkan Demokrasi Jelang Pemilu 2024

14 Februari 2024 - 10:28 WIB

Tingkatkan Kualitas Pendidikan, FKIP Universitas Jember Gandeng Thailand dalam Program Asistensi Mengajar

8 Agustus 2023 - 17:27 WIB

Kehidupan Digital Untuk Lingkungan Alam

7 Agustus 2023 - 20:44 WIB

UKM Teater Tiang Sukses Adakan Pementasan Teater “Titik-titik Hitam”

15 Mei 2023 - 12:23 WIB

Eratkan Sinergitas Antar HMP dan UKM, BEM FKIP Gelar Anjangsana Omawa

21 Maret 2023 - 12:28 WIB

Trending di Straight News