Menu

Mode Gelap
 

SEMUA KATEGORI · 27 Apr 2019 19:05 WIB ·

Orang-orang di Persimpangan Jalan Negeri Demokrasi


 Orang-orang di Persimpangan Jalan Negeri Demokrasi Perbesar

By : Zulfa Ihsan

Hajat 5 tahun kembali digelar. Negara hadir untuk menciptakan kesejahteraan. Politik adalah jalan mewujudkan keadilan. Gagasan-gagasan besar dibutuhkan, bak oase di padang tandus. Agar negeri menjangkau cakrawala masa depan emas. Memilih pemimpin bukanlah seperti memilih barang di pasar. Lobi-lobi negosiasi dilakukan demi tercapai visi yang pasti. Kaum populis hanya bisa meringis sambil mengais-ngais rezeki dari wakil yang tak pasti. tugas-tugas kepartaian menjadi ladang mengais rezeki hingga menyambung hidup. Adapula yang mengganggap sebagai ladang amal ibadah. Tak ayal, segilintir orang rela berpeluh-peluh demi sebuntal nasi. Begitulah kiranya jamuan yang disuguhkan pesta demokrasi ini.
Dini hari pak Akbar sudah terjaga dari tempat tidurnya, mendahului si jago yang rajin membangunkan warga di desa Sukajadi. Diiringi suara jangkrik dan tonggeret yang bersahutan, pak Akbar bergegas pergi ke surau mengumandangkan azan shubuh. Selepas solat, seperti biasa ustad Rahmat mengisi kajian subuh membahas tentang fiqih keutamaan pemimpin yang baik. Dalam kajiannya ustad menyampaikan, “Allah menurunkan manusia ke bumi, untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ard pemimpin di dunia. sebab manusia, berbeda dengan makhluk Allah lainnya. Manusia bukan hanya diberikan fisik yang hebat, dan akal yang luar biasa. Tetapi juga struktur kejiwaan yang indah. Sehingga semua potensi itu, tidak Allah berikan secara percuma. Tapi Allah perintahkan manusia dengan segala keberdayannya untuk menciptakan kemakmuran dimuka bumi. Allah memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pemimpin yang adil, tetapi juga mengancam para pemimpin yang dzalim. Itulah cara Allah menghargai pemimpin. Dan rasul juga bersabda, kullu kum roin wa kullukum mas’ulun anraiyathi. Tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” Begitulah kegiatan setiap selepas subuh di surau desa Sukajadi yang aman dan tentram. Sambil duduk termangu, semua warga yang mendengar bergelut bertafsir pada pikiran masing-masing tentang bagaimana sosok pemimpin dan wakil rakyat yang pantas di pilih ketika pemilu yang akan diadakan 3 minggu lagi. Bukan main, pesta demokrasi kali ini merupakan pesta terbesar di dunia, sebab terdapat 5 pilihan surat suara yang harus dicoblos nanti. telah banyak narasi pandir propaganda, kampanye, kongkalikong, gimik, sindir, nyinyir dengan cara barbar segala akal bulus dilancarkan. Namun masih ada segelintir orang yang berusaha menarasikan kesejukan untuk kampanye yang damai.
Pak Akbar menahan sesak, dalam hatinya timbul rasa sakit karena masih belum bisa membahagiakan keluarganya, penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan ojek daring belum maksimal untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. dalam hatinya Ia bergumam, sungguh naif diriku Tuhan, yang tak suka kondisi politik di negeri ini, tapi mau gimana lagi? Pundi-pundi sumber kehidupan kudapatkan dari kerja-kerja politik di negeri ini. setelah itu majelis selesai, warga berhamburan kembali ke saujana masing-masing.
*****
Kontestasi pemilu 3 minggu lagi akan berakhir. Jargon-jargon untuk mengambil suara hati rakyat digaungkan. Kursi-kursi pada saat krusial itu menjadi melambung tinggi harganya, bak kursi mahligai di kediaman raja-raja. Entah sejak kapan dan kenapa kursi-kursi menjadi sesuatu hal yang diperebutkan. katanya kursi itu hanya bisa diduduki oleh wakil-wakil rakyat untuk menyambung lidah rakyat. Kursi-kursi itu antara lain kursi DPR, kursi presiden, kursi bupati, kursi menteri dan kursi gubernur. Kursi DPR menjadi incaran Kardiman, seorang pengusaha peternakan ayam. Ayam itu Ia jual di pasar dan distribusikan ke warung-warung makan emperan pinggir jalan atau restoran. Ia mendapatkan keuntungan dari hasil usahanya sekitar 20 jt setiap bulannya. Kardiman tinggal di desa Batujajar yang merupakan desa tetangga dari desa Pak Akbar. Pagi hari menjelang 3 minggu pemilu, Kardiman mengadakan rapat bersama timsesnya.
“Pak, bagaimana untuk tiga minggu ke depan menjelang pencoblosan? Dengan kandidat lain, kita sedikit kalah dengan mereka.” Ujar seorang timses pendukung Kardiman.
“mulai dari sekarang kita siapkan orang-orang dulu Pak.” Pungkas kardiman menjawab keresahan timsesnya. Padahal Ia pun sama khawatirnya bahkan lebih khawatir. Sudah banyak yang Ia keluarkan dan kerahkan demi terpilihnya sebagai wakil rakyat.
“buat apa kita siapkan orang Pak? Nanti malah akan menghabiskan uang saja.” Tanggapan dari timses lain.
“kita siapkan orang untuk membantu kita memasang baliho, banner, pamflet, stiker dan selebaran-selebaran lain untuk pemenangan kita. Terutama di daerah-daerah yang belum menjadi lumbung suara kita Pak Dhe.” Jawab Kardiman.
“menyebarkan baliho, banner, pamflet dan lain lain itu masih kurang Pak. Suara terbesar sekarang ada di masyarakat mayoritas Islam. Kita membutuhkan sesosok yang mampu mengambil hati umat Islam Pak. Lihat saja Ramdan itu, lebih unggul sebab mampu berpidato yang menyejukan umat Islam.”
“apa yang kau bicarakan ada benarnya, kita perlu cara lain untuk menggalang suara. Kita ciptakan suasana keberagaman. Kita buat kegiatan-kegiatan seperti konser musik, lomba-lomba yang dapat menarik hati kaum milenial, dan kegiatan bakti sosial untuk kaum dhuafa dan anak yatim piatu. Kerja, kerja, kerja, kita harus bekerja demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat!” Kening Kardiman mengangkat ke atas, nafasnya yang menggebu-gebu untuk membuat kegiatan-kegiatan agar perjuangannya tidak sia-sia. Malam hari, salah satu timsesnya sudah menghubungi Ustadz yang tersohor di kotanya perihal meminta bantuan untuk kegiatan yang akan dilaksanakan. Namun belum ada kabar sampai saat ini.
*****
Senja menjelang malam, Pak Akbar duduk termenung di teras rumah. Piring berisi tempe goreng, terong goreng dan sayur asem yang mengepul tak kunjung habis. Istrinya sedang sibuk menyetrika pakaian di ruang tamu sesekali berwajah cemas. Anaknya sedang mengenyam pendidikan di SMP desa Sukajadi. 1 minggu lagi sekolah tempat anaknya belajar akan mengadakan Ujian Akhir Sekolah. Pihak sekolah telah memberitahukan bahwa untuk mengikuti ujian, semua siswa diharapkan telah membayar biaya-biaya yang belum dilunaskan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kalau tidak ada lagi biaya SPP bulanan, akan tetapi tetap saja sekolah masih menyerap iuran dari siswa untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Ia juga mencemaskan kondisi sang suami yang kurang sehat, apalagi sejak tadi pagi belum makan. Sang istri kembali masuk ke rumah dan menemui Akbar.
“makan dulu nasinya Pak, eman mubazir kalau tidak dimakan. Masalah itu tidak perlu banyak dipikirkan.”
Istrinya duduk sambil meletakkan teh hangat di atas meja. Pak Akbar masih diam.
“bagaimana aku enggak kepikiran Bu. Meskipun setiap hari aku sudah berpeluh-peluh untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, tetapi masih saja ada biaya tak terduga yang harus dikeluarkan. Aku harus mencari sumber penghasilan lain demi keberlangsungan cita-cita anak kita Bu.”
“tapi Pak, kamu perhatikan juga kesehatanmu sekarang. Kondisi bapak menurun, kalau bapak tidak makan, bagaimana mau bekerja? Perut juga butuh diisi untuk tenaga bekerja nanti. kita serahkan semua pada Allah, insya Allah diantara kesulitan yang datang pasti Allah memberikan jalan kemudahan. Aku hidup sederhana seperti ini pun sudah sangat nyaman. Barangkali aku juga bisa membantu dengan menjadi buruh mencuci pakaian.”
“sebentar lagi akan diadakan pemilu, banyak kandidat yang memberikan pekerjaan sampingan untuk membantu pemenangan mereka. Barangkali melalui pekerjaan itu bisa menambah keuangan untuk membiayai sekolah anak kita.”
Istrinya diam. Perempuan itu kini khawatir. Ia merasa perkataan suaminya tidak ada yang salah. Apalagi di tahun ini, agak sulit mencari pekerjaan. Pekerjaan membantu pemenangan kandidat caleg merupakan solusi yang buntu. Wajar, jika seorang ayah ingin memperjuangkan cita-cita anaknya.
“tapi pak, apakah pekerjaan seperti itu halal? Kalau bisa harus pilih-pilih dulu mana yang bisa dikerjakan. Jangan sampai kita terjerumus ke hal-hal yang banyak mudharatnya.”
“Iya Bu. Nanti aku cari pekerjaan partai yang lebih sedikit mudharatnya. Semoga saja hasil yang didapatkan cukup untuk membiayai sekolah anak kita.”
Istrinya hanya tersenyum. Lalu, menuangkan teh yang tidak panas lagi di gelas yang hampir habis dan membersihkan debu-debu di atas meja. Di sunyi senja yang kekuning-kuningan di atas cakrawala yang tak berbatas. Akbar dan istrinya tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Perasaan yang tak menentu diiringi suara tonggeret, jangkrik dan kicauan burung yang bergegas kembali ke sarangnya. Allahuakbar Allahuakbar! Sayup-sayup terdengar suara muadzin di surau.
*****
Sekelebat cahaya mulai tampak di ujung cakrawala. Terangnya menyebabkan jingga berpendar ke langit negeri demokrasi itu. Pagi buta selepas shubuh berjama’ah, pak Ramdan sudah sibuk menata sayuran, sembako dan rempah-rempah di atas mobil bak terbuka. Sayuran yang Ia dagangkan merupakan hasil dari jeri payahnya berkebun. 5 tahun sebelumnya Ia mendapatkan warisan dari orangtuanya berupa tanah yang cukup luas. Tanah warisan yang diberikan kepadanya tidak serta-merta Ia gadaikan atau jual demi kebutuhan sesaat. Dengan bermodalkan pengetahuan dan pengalaman yang Ia dapatkan ketika di bangku kuliah, tanah yang cukup luas itu Ia manfaatkan dan diolah menjadi sawah, kebun, dan aneka sayuran. Ia pun turut memperkerjakan tetangga dan warga desa setempat untuk membantunya merawat sawah dan berkebunan yang Ia miliki. Sebab ketekunan dan keuletan yang Ia jalani, usahanya setiap bulan mengalami kesuksesan. Hal itu tampak dari hasil panen yang tak pernah gagal dan keuntungan yang Ia peroleh setelah menjualnya ke pasar dan tengkulak. Karena kesuksesan akhirnya Ia mendirikan perusahaan pribadi bernama PT. Ramdan Sejahtera. Perusahaan itu menyediakan berbagai jenis pupuk untuk tanaman, dan menyediakan berbagai macam bibit unggul untuk usaha pertanian. Perusahaan itu terus mengalami kesuksesan hingga pergantian Bupati, kebijakan dan peraturan tentang perusahaan dan bisnis pun mengalami pergantian. Akibatnya pajak yang ditetapkan bagi perusahaan begitu besar. Semenjak itulah Ia sadar selain dunia usaha, Ia perlu terjun ke dunia politik. Lain pejabat lain juga kebijakan.
Pagi hari di Pasar ketika Ia menjual dagangannya. Karyawannya mengeluh karena kondisi yang terjadi saat ini.
“Gan, bagaimana ini, pendapatan yang masuk tidak sebanding dengan pajak yang ditetapkan. Brengsek, ternyata pejabat itu pintar juga, pintar mengibuli.” Ujar pegawainya mengawali pembicaraan.
“Sabar Bapak, beginilah negeri demokrasi. Sekarang saya akan memperjuangkan nasib para pengusaha yang mengalami kesulitan selama menjalankan usahanya. Saya akan tolak UU karet tentang persyaratan pendirian izin usaha. Semoga pemilu kali ini kita menang!” kata Ramdan memupus kekhawatiran pegawainya.
“segera Gan, saat ini sudah banyak orang-orang yang kena PHK akibat gaji rendah sedangkan kebutuhan sehari-hari semakin melambung tinggi.”
Berkat pengetahuannya tentang agama, serta pengalamannya berorganisasi saat kuliah. Ramdan pun berani menyuarakan suaranya. Beberapa kali di undang diskusi di desa-desa, dan lembaga kepartaian bahkan sempat mengisi khotbah jumat di masjid. Akhirnya, Ia pun dapat menggalang massa yang besar. Hal itu membuat bergidik para lawan-lawan politiknya. Sempat Ia ditawarkan kursi di kedinasan tapi Ia menolak.
*****
Sementara itu, di tempat lain sebuah pos ronda desa Sukajadi. seorang pemuda berwajah murung tengah berdiam diri sejak sore. Selang beberapa lama datanglah 4 orang kawannya mengagetkan pemuda itu.
“woii bro! Ngelamun aja, mikirin apa nih?”
“asem kau, untung aku masih muda belum jantungan.” Jawab pemuda itu dengan kening sedikit mengkerut.
“ngopi dulu lah. Jangan melamun aja bahaya, apalagi kalau jomblo. Kunti-kunti pada demen tuh sama anak muda yang melamun. Mikirin apaan sih!?” kata kawan lainnya.
Pemuda itu hanya diam tertunduk. Sebuah pertanyaan yang mengusik mimpi-mimpinya. Ia kembali ingat pesan gurunya kemarin kalau ingin mendapatkan pekerjaan yang layak Ia harus mengenyam bangku kuliah. Namun saat ini tidak memiliki uang mendaftar dan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.
“Ibuku hanya lulusan SMA, sedangkan ayah tidak lulus kuliah. Aku ingin merubah nasib keluarga dengan berkuliah. Tapi aku tidak memiliki cukup uang untuk mendaftar seleksi masuk perguruan tinggi.”
“Aduhh! Uang itu gampang dicari broo! Lihat aku ini, sekarang jadi panitia KPU Daerah. Lumayan lah dapat tambahan uang jajan. Kau kalau mau ikut aja sana. Jadi panitia kek, jadi saksi partai kek, atau jadi timses aja lumayan lebih besar. Apalagi 3 minggu lagi ada pencoblosan. Banyak dompet putih datang ke rumah-rumah. Lumayan tuh!”
Langit berubah hitam pekat. Hujan turun tiba-tiba disertai kilat yang membelah hamparan langit. Sunyi berkuasa hanya terdengar sayup-sayup rintik hujan yang mulai deras.
*****
Bulan mengintip malu menampakkan secebis cahayanya. Suhu udara saat itu amat sejuk dan dingin. Namun konstelasi panggung demokrasi semakin panas. Aroma tanah yang terbentur setelah hujan turun masih menyerbak. Sementara hari-hari semakin dekat dengan penghitungan suara. Mendadak banyak ahli matematika amatiran membuat rumus-rumus baru yang sulit dimengerti. Orang-orang itu tak lain adalah para pekerja lembaga survei politik. Konon katanya rumus-rumus yang dibuat merupakan rumus yang paling benar dibandingkan lembaga KPU. Dalam diskusi rapat beberapa orang memperbincangkan keadaan yang akan datang.
“bro, kau jaga survei mana saja? Jangan lupa nanti gunakan rumus baru yang dibuat ya.” Salah seorang anggota memulai pembicaraan.
“oke tenang aja bro! Tapi ada pertanyaan yang menggajal, menurutmu apa yang kita lakukan tidak dosa?”
“kau ini bagaimana? Kau sudah memutuskan buat bekerja disini. Jadi ya nurut lah. Apalagi kita sudah dibayar sampai jutaan. Sudahlah tak usah kau pikirkan dosa-dosa, toh memang kita membutuhkan.”
“iya betul, lagi pula ini kan cuman ada 5 tahun sekali. Hitung-hitung buat menambah penghasilan sampingan.” Timpal anggota lain yang juga menjadi panitia KPU. Setelah itu, tiba-tiba ponsel berdering.
“gimana kesepakatannya sanggup tidak?” tanya seseorang di ujung telepon itu.
“bagaimana ya Pak, melihat kondisi saat ini sepertinya tidak memungkinkan.”
“kau ini bagaimana, pakailah otakmu itu. Pokok saya tidak mau tahu. Nanti siapkan suara untuk saya.”
“baiklah saya usahakan. Tapi bapak sudah transfer kan?”
“sudah.”
Keesokan harinya, banyak foto-foto terpampang di berbagai media, baik cetak maupun televisi. Topik tajuk yang dimuat tertulis huruf kapital “NAMA-NAMA KORUPTOR”.

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 35 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Prospek Kerja Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Era Digital 4.0 dan Era Society 5.0

26 Oktober 2019 - 12:25 WIB

Memperingan Hutang BEM FKIP 2018: Dana Penggalangan dari Mahasiswa Telah Disalurkan oleh BPM FKIP 2019

9 Mei 2019 - 11:41 WIB

Rindu Juli

27 April 2019 - 18:26 WIB

Ku suri Dendamku Demimu, Au

12 April 2019 - 12:01 WIB

Rindu

30 Maret 2017 - 12:02 WIB

pendidikan jember darurat  asusila

25 Maret 2017 - 16:14 WIB

Trending di SEMUA KATEGORI