Penulis tersentak membaca banyak media sosial yang memuat pemberitaan tentang pro-kontra pemunduran Pemira di Universitas Jember tahun ini. Atas dasar itu, penulis terpantik untuk menulis sepatah dua patah kata. Namun perlu diketahui, tulisan ini merupakan analisis penulis, bukan bentuk dukungan terhadap salah satu pihak.
Pemilihan Umum Raya Mahasiswa merupakan salah satu momentum bagi mahasiswa dalam merayakan pesta demokrasi untuk memilih siapa-siapa yang layak menduduki kursi kepemimpinan baik eksekutif maupun legislatif di kalangan mahasiswa itu sendiri. Dalam proses pemilihannya, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa terdapat suatu dasar yang mutlak tidak boleh diingkari keberadaannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah asas LUBER dan JURDIL. Asas-asas itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa Universitas Jember, yang menjadi dasar utama diundurnya pesta demokrasi yang seharusnya dilangsungkan pada Kamis, 10 Desember 2020 kemarin.
Dalam press release yang dikeluarkan oleh KPUM UNEJ, mereka menyatakan bahwa pemunduran Pemira dikarenakan sistem baru yang telah dirangcang oleh KPUM belum berhasil diselesaikan oleh UPTTI sampai dengan H-1 pelaksanaan pemira. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksingkronan komunikasi yang terjalin antara pihak rektorat dan UPTTI. Pihak UPTTI menyatakan kesanggupannya menyelesaikan sistem yang baru dengan jangka waktu tujuh hari terhitung sejak memo disposisi rektorat diturunkan, namun memo tersebut tidak kunjung diberikan hingga pada akhirnya pihak KPUM mengadakan rapat internal terkait pembahasan ini dan didapati kesepakatan bahwa Pemilihan Umum Mahasiswa di Universitas Jember harus diundur sampai dengan jangka waktu yang tidak ditentukan.
Perubahan sistem tersebut dirasa sangat diperlukan dan menjadi urgensi tersendiri dalam pemira tahun ini sebab adanya penyesuaian sistem dan tatacara pemungutan suara dari tahun-tahun sebelumnya. Jika pada tahun-tahun sebelumnya pemilih dapat mendatangi TPS yang tersedia disetiap fakultas secara langsung, pada tahun ini para pemilih dapat berpartisipasi memberikan suaranya dari rumah masing-masing. Jika ditarik garis besarnya, hal yang ingin diminimalisir oleh KPUM dengan merubah sistem lama yang hanya menggunakan scan KTM saja menjadi swa-foto dengan memegang KTM yakni asas langsung, jujur, dan adil yang tidak lain dan tidak bukan adalah asas paling dasar dari penyelenggaraan Pemira. Sistem yang lama dirasa tidak cukup available untuk memastikan asas LUBER JURDIL tersebut dapat diterapkan dengan sebenar-benarnya.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jika tidak hanya segelintir mahasiswa yang menitipkan NIM dan password dari akun mereka kepada temannya baik untuk keperluan absensi, penguploadan tugas maupun keperluan lainnya. Hal ini didasari karena banyaknya mahasiswa yang pulang kampung dan berada di daerah pelosok sehingga kesulitan memiliki akses internet dan jaringan, sehingga penitipan akun kepada mahasiswa lainnya adalah salah satu alternatif yang mereka gunakan. Tanpa adanya swa-foto langsung, maka tidak dapat dipastikan siapa pemilih yang saat itu sedang masuk kedalam sistem pemilihan.
Mengingat pada sistem lama mekanisme yang digunakan hanyalah upload KTM atau KRS, ditakutkan pemilih yang saat itu melakukan prosedur pemilihan bukanlah pemilik akun asli. Hal ini jelas menciderai asas LUBER JURDIL karena Panitia Pemungutan Suara yang saat hari-H bertugas sebagai operator dan meng-acc pemilih tidak dapat melihat secara langsung maupun memastikan siapa yang berada dibalik akun tersebut. Hal-hal inilah, yang sekali lagi menjadi pertimbangan bagi KPUM dalam merubah sistem yang ada.
Sangat disayangkan ketika iktikad baik dari KPUM kala itu justru mendapat tanggapan negatif dari mahasiswa itu sendiri dengan banyak dilontarkannya ujaran-ujaran tidak pantas melalui media sosial oleh segelintir orang yang dengan tidak terhormat bersembunyi dibalik akun-akun palsu yang sengaja dibuat hanya untuk menggaungkan kabar burung yang tidak berdasar. Mereka justru dengan terang-terangan menunjukan sisi pengecutnya karena tidak memiliki keberanian untuk menampakkan dirinya secara terbuka kepada publik.
Penulis : Putra R