Pena Pijar, Artikel – Pemilu 2024 akan membawa Indonesia pada nasib barunya. Melahirkan pemimpin baru lewat demokrasi yang kuat bukan justru melemah seperti sekarang. Pada pemilu kali ini terdapat tantangan mengenai demokrasi yang tampak meredup, sehingga membuat segenap civitas academica bergerak untuk menyelamatkan demokrasi. Mereka juga menuntut untuk melakukan pemilu 2024 dengan jujur serta adil.
Pergerakan ini sudah dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi di Indonesia yang diikuti oleh guru besar, dosen, mahasiswa serta alumni yang menyampaikan petisi karena rasa keprihatinan serta kekecewaannya terhadap manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Gerakan ini awalnya dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) yang mengeluarkan petisi Bulaksumur. Dalam petisi Bulaksumur yang dideklarasikan pada Rabu (31/1/2024) berisi rasa kekecewaan mereka terhadap Presiden Joko Widodo sebagai alumnus UGM yang melakukan penyimpangan di masa pemerintahannya.
Pergerakan ini pula diikuti oleh civitas academica perguruan tinggi lainnya, mereka turun untuk meminta keadilan serta mengkritik tata kelola pemerintahan yang tampak merosot. Berbagai seruan yang dilontarkan oleh segenap civitas academica merupakan aksi tidak terima terhadap tindakan penguasa. Terhitung hingga Senin (5/2/2024) terdapat 25 kampus turut menyuarakan aspirasi mereka untuk menuntut keadilan.
Petisi yang Diserukan oleh Civitas Academica:
Penyimpangan demokrasi yang membuat segenap civitas academica geram sejak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan usia minimal cawapres. Tertuang pada nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Putusan tersebut menyebutkan, bahwasannya capres cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Mengenai hal ini muncul pandangan dari pakar hukum UGM yang mengatakan bahwa bagaimana bisa proses demokrasi ditentukan oleh orang yang tidak dipilih secara demokratis.
Terlihat pula penolakan yang diucapkan oleh Rudi Febriamansyah pada manivesto Unand yang menolak segala bentuk praktik politik dinasti dan meminta agar Presiden Joko Widodo tidak menggunakan kekuasaannya dalam kecurangan pemilu, juga mengajak masyarakat untuk bersikap kritis dan berani menolak bantuan sosial yang dipolitisasi untuk kepentingan politik status quo. Di Makassar juga turut menyerukan suaranya pada forum Guru Besar Unhas yang menjaga koridor demokrasi, apabila keluar jalur maka kampus wajib mengingatkan kembali untuk menjaga peradaban demokrasi.
Aksi ini merupakan gerakan peduli terhadap demokrasi yang terlihat merosot jelang pemilu 2024. Sikap presiden yang tidak netral atau terlihat memihak kepada paslon tertentu pada pilpres 2024 telah menodai etika politik di Indonesia. Hal ini juga dinyatakan oleh mantan Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas.
Namun, di sisi lain Presiden Joko Widodo menyikapi hal ini dengan santai karena aksi yang dilakukan oleh civitas academica merupakan sebuah hak demokrasi, hak berbicara, dan hak berpendapat.
Penulis: Diah Silvi Salsabila
Penyunting: Riyanti