Menu

Mode Gelap
 

Opini · 8 Okt 2020 13:53 WIB ·

Efek Domino UU Omnibus Law Bagi Dunia Pendidikan


 Efek Domino UU Omnibus Law Bagi Dunia Pendidikan Perbesar

A. Pengantar Omnibus Law 

RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020), menuai banyak polemik bahkan sejak awal kemunculannya. Ibarat koin, pengesahan RUU Cipta Kerja di sisi lain mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi masyarakat Indonesia khususnya tenaga kerja atau buruh. Lalu apa itu Omnibus Law?

Secara harfiah, Omnibus Law merupakan bentuk hukum yang diperuntukkan untuk semua.  Istilah ini berasal dari bahasa latin, yakni omnis yang berarti ‘untuk semua’ atau ‘banyak’. Bisa disimpulkan bahwa Omnibus Law adalah landasan baru yang memuat beragam substansi aturan, di mana keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus. Istilah tersebut pertama kali muncul dalam pidato pertama Presiden Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019).

Dikutip dalam Kompas.com, Selasa (22/10/2019), Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri menjelaskan, Omnibus Law merupakan sebuah Undang-Undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.

Omnibus Law yang telah direncanakan Pemerintah Indonesia itu, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Omnibus Law selain relevan dengan berbagai aspek yang menjadi dasar dibuatnya dua Undang-Undang tersebut, juga termasuk menyasar bidang pendidikan. Maka suatu konsekuensi logis kemudian hal ini menuai banyak polemik terkait kebijakan yang bahkan telah disahkan. Pembacaan kritis terhadap Omnibus Law ini juga diharapkan dapat merefleksikan bersama bagaimana idealnya untuk kemaslahatan bangsa Indonesia. Berbagai elemen mencoba untuk mengkritisi kebijakan tersebut, terutama para buruh yang langsung terkena dampak dari perubahan jam kerja, perlindungan hak buruh, upah minimum, dan lain sebagainya yang tidak berpihak pada buruh dan mengsubordinasikan buruh.

B. Mengapa ada relevansi “Pendidikan dan Kebudayaan” dalam Omnibus Law?

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Masyarakat Indonesia pasti sudah sangat familiar dengan tiga kalimat semboyan sakti itu terutama bagi kaum pelajar yang mengenyam pendidikan di Indonesia. Apabila ditafsirkan berdasarkan pendapat pribadi, semboyan tersebut mengandung arti kemanusiaan. Dalam konteks pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara adalah mendorong perkembangan hidup peserta didik lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju arah peradaban yang umum. Tujuannya adalah untuk membentuk manusia yang mandiri, berkepribadian, dan beradab.

Namun, munculnya pencantuman “Pendidikan dan Kebudayaan” dalam UU Cipta Kerja seakan-akan mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dengan memaksa Output untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja. Hal ini dapat ditandai dalam UU Cipta Kerja paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65 ayat 1 berbunyi “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini” dan ayat 2 “Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah”.

Hal ini dapat dimaknai bahwa pendidikan akan berorientasi sesuai kebutuhan pasar (Market Oriented). Pendidikan merupakan landasan vital pembentuk karakter bangsa. Dibutuhkan manusia yang sadar akan haknya sebagai jiwa terdidik dengan moral serta perannya dalam kehidupan yang beradab. Hal tersebut yang kemudian mendorong terbentuknya elemen pendidikan secara formal oleh pemerintah. Namun, seperti apa karakter didik yang terbentuk, bila pendidikan sebagai tujuan mulia sudah diwarnai oleh kepentingan bahkan korporasi. Kemudian yang dikhawatirkan adalah watak pendidikan Indonesia akan tercerabut dari akar tradisi.

Nilai-nilai paradigma pendidikan tentu jangan sampai tereduksi karena adanya Undang-Undang Sapu jagat Omnibus Law. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus beradaptasi secara arif tanpa harus menolaknya. Out put pendidikan harus memiliki moralitas tinggi, kepekaan sosial, menjunjung harkat dan martabat negara, dan ikut menentukan arah peradaban manusia.

C. Munculnya Komodifikasi Pendidikan?

Komodifikasi merupakan proses transformasi ideologi pendidikan sebagai suatu komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan. Komodifikasi dapat menjadi suatu ancaman ketika menyentuh aspek pendidikan. Pasal 1 Ayat (4) dalam UU Cipta Kerja menjelaskan terkait “Perizinan Berusaha” yaitu, legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Dikutip dari kompas.com, menurut pemerhati pendidikan dari Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim memaparkan bahwa Pasal dalam UU Ciptaker memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan. Dengan kata lain, UU Ciptaker menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan.

Berdasarkan UU Cipta Kerja paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65 ayat 1 dan 2 Menurut Satriwan, ketentuan tersebut membuat pemerintah leluasa mengeluarkan kebijakan perizinan usaha di sektor pendidikan. Oleh karenanya, ia menilai, sektor pendidikan akan direduksi menjadi aktivitas industri dan ekonomi. Selanjutnya, ada pula Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBT) bakal menggugat uji materi Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena masih mengatur pasal tentang pendidikan. pengamat pendidikan dari PBKT Darmaningtyas mengatakan, langkah pemerintah dan DPR memberikan opsi izin berusaha untuk pendirian sekolah dan perguruan tinggi seolah menempatkan sektor pendidikan untuk mencari untung. Menurutnya sudah ada UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran yang mestinya diperhatikan ketika ada sangkutannya. Hal ini dinilai lebih patut, dibanding mencampurkan perkara pendidikan pada UU yang dibuat dengan tujuan melancarkan investasi.

Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi manusia berilmu dan beradab yang telah di reproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi. Tapi apa sesungguhnya yang mendorong terjadinya komoditisasi pendidikan ini?

 

Penulis: Zulfa Ihsan

Editor: Lhatif

RUJUKAN DAFTAR

Sari, Haryanti Puspa. (2020, 6 Oktober). Perhimpunan Guru Kecam DPR dan Pemerintah Terkait Sektor Pendidikan dalam UU Cipta Kerja. Kompas.com.

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/12293021/perhimpunan-guru-kecam-dpr-dan-pemerintah-terkait-sektor-pendidikan-dalam-uu?page=all .

CNN Indonesia. (2020, 6 Oktober). Pendidikan Masuk Omnibus Law, Tamansiswa Akan Gugat ke MK.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201006132925-20-554927/pendidikan-masuk-omnibus-law-tamansiswa-akan-gugat-ke-mk

Febriagivary, Agida Hafsyah. (2020, 16 Juli). Apa Kabar Pendidikan dalam Omnibus Law ?. Isolapos.com.

https://isolapos.com/2020/07/apa-kabar-pendidikan-dalam-omnibus-law/

Hidayat, Wandha Nur. (2020, 31 Agustus). Dampak Omnibus Law: Komersialisasi, Privatisasi, dan Liberalisasi Pendidikan. ValidNews.id.

https://www.validnews.id/Dampak-Omnibus-Law–Komersialisasi–Privatisasi–dan-Liberalisasi–Pendidikan-Vle

Dewantara. Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka . Yogyakarta: Leutika.

 


Kirim tulisan kawan-kawan ke mail  redaksi@penapijar.com , lengkapi tulisan dengan ilustrasi gambar, foto, dan data diri.

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 42 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mahasiswa: Masih Pentingkah Menulis di Era Digital?

26 September 2024 - 23:30 WIB

Perubahan Iklim dan Transisi Energi: Tanggung Jawab Kolektif dan Tantangan yang Mendesak

27 Juni 2024 - 23:50 WIB

Menimbang Risiko dan Manfaat: Penggunaan Gawai untuk Balita

27 Juni 2024 - 23:37 WIB

Benarkah Universitas Impian Menjadi Tolok Ukur Kesuksesan Mahasiswa?

23 April 2024 - 18:59 WIB

Pandai Membaca Manfaat dan Tantangan Teknologi

23 April 2024 - 18:10 WIB

Kecenderungan Perilaku Self-Harm pada Mahasiswa

29 Februari 2024 - 21:47 WIB

Trending di Opini