Pena Pijar, Anekdot – Di sebuah negeri yang jauh, ada seorang pria yang dikenal sangat pintar dan cerdas. Sayangnya, dengan titel ‘orang pintar’ yang disandangnya itu dia menjadi merasa diri paling bisa di antara orang lainnya. Tetapi, tak satu pun orang menentang perbuatannya itu sebab dia memang pintar dan cerdas, serta telah mendapatkan hak istimewa dari Yang Mulia Raja. Pria itu dengan angkuhnya menyampirkan gelar “sang Pemimpin” kepada dirinya sendiri.
Suatu hari, sang Pemimpin berjalan-jalan di pasar untuk menghabiskan waktunya. Seperti biasa, dia mengenakan jubah mewah untuk menunjukkan bahwa dirinya berada di lingkungan sosial yang berbeda. Semua orang menyapanya dan tidak protes sedikit pun ketika dia meraih barang dari toko mereka tanpa membayar. Sampai seorang pemuda dengan pakaian pengelana tidak sengaja melihat hal itu dan menegurnya.
“Tuan. Apakah jubah mewah yang kau kenakan itu tidak membuatmu malu mencuri seperti itu?” tegurnya menghampiri sang Pemimpin.
Sang Pemimpin mengerutkan dahi, wajahnya tertekuk karena baru sekali ini dia mendapati seseorang berani berkata kepadanya seperti itu. Sang Pemimpin mengamati pakaian pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Seorang pengelana tahu apa?” sahutnya dengan kepala yang didongakkan untuk menantang si pemuda.
“Wah, benar. Saya seorang pengelana yang tidak punya apapun kecuali mata yang melihat dengan jelas dan mulut yang bersaksi atas kebenaran,” ujarnya tanpa mau tahu siapa yang sedang dia ajak bicara saat ini. Lagipula baginya itu tidak penting, yang tepenting adalah bagaimana kebenaran bisa ditegakkan.
“Cih, anak bau kencur berani menentang sang Pemimpin? Kau tidak tahu siapa aku?”
Melihat tak ada respon sedikitpun dari si Pemuda, sang Pemimpin mengeluarkan tawa angkuhnya sambil merentangkan kedua tangan dan berputar menunjuk kedai-kedai di sekelilingnya sembari berteriak. “Wahai para pedagang dan rakyat yang setia kepada Rajanya, siapa di antara kalian yang tidak terima kalau aku mengambil sedikit dari barang dagangan kalian? Kemarilah dan tuntut aku!” serunya.
Tak seorang pun berani mengeleluarkan suara. Lalu sang Pemimpin tersenyum miring merasa menang dari si Pemuda. “Lihat?! Tidak ada seorang pun keberatan. Mereka rela dengan apa yang aku lakukan!”
“Kau bilang rela, Tuan? Tidakkah kau lihat rahang mereka mengeras dan tangan-tangan mereka terkepal hendak melayangkan pukulan ke wajahmu?” Si Pemuda yang cermat tetap bersikap tenang tak terpancing amarah sedikitpun. Para pedagang yang ketahuan oleh si Pemuda segera menunduk agar tak sampai berurusan dengan sang Pemimpin.
“Grrr … Apa maumu, Pemuda Miskin?” Jelas terlihat dari pakaian polos pemuda itu bahwa dia hanya berkelana dengan harta seadanya. Bajunya tak mewah, pun kainnya yang seharusnya putih tampak kecokelatan hampir menguning.
Pemuda itu tersenyum. “Begini saja. Bagaimana jika kita main tebak-tebakkan? Kalau Tuan bisa menebak dengan benar, aku tidak akan mempermasalahkannya dan melakukan apapun yang Tuan inginkan. Tapi, jika Tuan tidak bisa menebak sampai tengah hari besok, maka minta maaflah kepada para pedagang itu dan bayar apa yang telah Anda ambil dari mereka.”
Terdengar kekehan kecil yang terdengar menyinggung dari mulut sang Pemimpin. “Haha. Kau salah memilih permainan, wahai Pengelana. Semua orang pun tahu bahwa aku adalah orang terpandai yang tidak pernah salah mengenai apapun. Ayo, cepat katakan apa tebakanmu?” Dia merasa sangat percaya diri dengan tantangan si Pemuda.
Pemuda itu lagi-lagi hanya tersenyum. “Jika seluruh dagangan di dunia ini gratis hari ini, apa yang Tuan pikir akan aku beli?”
Sang Pemimpin tertawa. “Hahaha! Orang miskin sepertimu pasti mau mengambil emas sebanyak-banyaknya.”
Pemuda itu semakin tersenyum. “Bersabarlah dan jawab dengan hati-hati, Tuan. Kau masih memiliki waktu sampai besok. Aku akan kemari lagi pada tengah hari, datanglah dan utarakan jawabanmu. Sekarang pengelana miskin ini mau mencari uang karena nyatanya tidak ada yang gratis di dunia ini. Permisi.”
Pemuda itu melengang pergi dengan sopan. Semua orang juga kembali melakukan aktivitas mereka karena tidak mau mengganggu sang Pemimpin yang kini masih tampak terkejut karena jawabannya salah. Lalu, sang Pemimpin ikut berlalu. Sambil bertanya-tanya apa yang sekiranya seorang pengelana muda yang miskin beli jika dia bisa mendapatkan semuanya dengan cuma-cuma?
Keesokan harinya, ketika matahari berada tepat di atas kepala manusia. Sang Pemimpin datang ke tempat mereka bertemu di hari sebelumnya dan mendapati si Pemuda telah berada di sana dengan senyum yang sama sekali tak luntur.
“Bagaimana, Tuan? Tidur Anda tidak terganggu karena memikirkan jawabannya, bukan?” tanya si Pemuda.
Sang Pemimpin mengepalkan tangannya kesal karena merasa diejek. “Kau benar-benar akan menyesal sesaat aku mengutarakan jawabanku. Kau akan kubawa ke hadapan Yang Mulia Raja.”
“Benarkah? Kalau begitu silakan katakan jawaban Anda, karena aku juga tidak sabar bertemu dengan Yang Mulia.”
Sang Pemimpin makin geram, lalu dia menjawab dengan semakin merendah-rendahkan si Pemuda. “Bagi pengelana muda tanpa harta sepertimu yang paling berharga adalah tubuh dan jiwamu, karena kau tidak akan bisa bekerja tanpa itu semua. Jadi, yang akan kau beli pastilah barang-barang untuk melindungi dirimu. Senjata dan obat-obatan,” katanya dengan lantang.
Semua orang di pasar menghentikan aktivitas demi melihat sang Pemimpin yang tampak menunggu jawaban dari si pemuda. Pemuda yang masih mengenakan pakaian yang sama persis seperti hari sebelumnya itu terkekeh. “Aku tidak menduga Anda bisa tahu bahwa yang paling berharga bagi orang sepertiku adalah tubuh dan jiwaku, Tuan. Anda memang pandai seperti kata Anda kemarin,” celetuk si Pemuda itu senang.
“Haha, benar, kan. Lalu, ayo turuti perintahku sekar-“
“Tunggu, Tuan, jangan tergesa-gesa. Aku hanya mengatakan bahwa Anda pandai karena bisa tahu apa yang paling berharga bagiku adalah tubuh dan jiwaku. Sayangnya bukan itu jawabannya, dan saat ini telah lewat tengah hari, jadi kesempatan Anda telah berakhir.”
“Apa maksudmu?! Kau pasti berbohong karena tidak terima dengan jawabanku yang benar, bukan? Lihatlah betapa liciknya pengelana ini,” pekiknya berusaha mempermalukan si Pemuda.
Pemuda itu tertawa lagi. “Itu hak Anda untuk berpikir demikian, Tuan. Tapi memang sejak awal jawaban Anda salah. Apakah kalian mau mendengar jawaban yang benar?”
Si Pemuda menatap semua mata yang menyaksikan mereka. Semua orang mengangguk walau dengan keraguan karena takut kepada sang Pemimpin.
“Baiklah, kurasa semua orang penasaran,” imbuhnya. Pemuda itu kemudian berkata, “Pertanyaanku adalah, jika seluruh dagangan di dunia ini gratis hari ini, apa yang Tuan pikir akan aku beli? Jika semua dagangan di dunia ini gratis, Tuan, tentu aku tidak akan membeli apapun. Kan gratis.”
Tiba-tiba semua orang mendapatkan keberanian untuk menggelakkan tawa. Kini seluruh penjuru pasar rasanya puas menertawakan sang Pemimpin yang mati kutu di tempatnya dan mengeram marah.
“Tuan berkata bahwa Anda adalah orang terpandai yang tidak pernah salah mengenai apapun, tapi ingatlah, Tuan. Saat seseorang merasa dia tidak pernah salah, justru saat itulah dia sedang melakukan kesalahannya yang pertama. Nah, sekarang ayo bayar apa yang Anda ambil kemarin.”
Penulis: Aan Kurnia Cahya Wahyudi
Ilustrator: annimon