Pena Pijar, Jember – Seorang dokter residen dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah (31), resmi ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemerkosaan terhadap pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Kejadian ini menggemparkan publik dan mendorong evaluasi terhadap sistem pengawasan dalam pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Insiden ini terjadi pada Selasa dini hari, 18 Maret 2025. Korban, seorang perempuan berinisial FH, mengaku dibawa oleh pelaku ke lantai 7 Gedung MCHC dengan alasan pemeriksaan darah. Di ruangan tersebut, korban diminta mengenakan pakaian operasi dan kemudian disuntik dengan cairan yang membuatnya tidak sadarkan diri. Ketika terbangun sekitar pukul 04.00 WIB, korban merasakan nyeri dan mendapati tanda-tanda kekerasan seksual. Kejadian tersebut segera dilaporkan kepada pihak rumah sakit dan kemudian ke kepolisian.
Polrestabes Bandung menetapkan Priguna sebagai tersangka dan menahannya sejak 2 April 2025. Ia dijerat dengan Pasal (6) huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur tentang pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Menanggapi kasus ini, pihak RSHS menyatakan telah bekerja sama dengan kepolisian dan melakukan evaluasi internal. Sementara itu, pihak Unpad memberhentikan tersangka dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi.
Kementerian Kesehatan melalui Konsil Kedokteran Indonesia juga telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) milik tersangka. STR merupakan syarat legal bagi seorang dokter untuk menjalankan praktik. Dengan pencabutan ini, Surat Izin Praktik (SIP) tersangka juga secara otomatis dibatalkan. Sebagai bentuk tindak lanjut, Kemenkes menghentikan sementara program PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSHS selama satu bulan. Evaluasi terhadap sistem pendidikan dan pengawasan residen kini menjadi sorotan utama.
Publik merespons keras kasus ini. Di media sosial, berbagai suara menyerukan transparansi proses hukum dan perlunya reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran. Aktivis dan kelompok masyarakat sipil juga menuntut adanya prosedur ketat dalam interaksi antara tenaga medis dan keluarga pasien, guna mencegah terulangnya kekerasan di ruang pelayanan kesehatan.
Kasus ini memicu kembali diskusi soal lemahnya pengawasan terhadap dokter muda dalam sistem rumah sakit pendidikan. Selain itu, budaya hierarkis dalam pendidikan medis dinilai menjadi penghalang bagi pelaporan pelanggaran etika oleh mahasiswa maupun tenaga kesehatan yang lebih junior.
Bagi banyak pihak, kasus ini bukan hanya tentang seorang pelaku, melainkan tentang sistem yang gagal memberikan perlindungan terhadap korban dalam ruang yang seharusnya aman dan profesional. Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia medis dan institusi pendidikan untuk menjamin keamanan dan etika dalam proses pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Penulis: Sukhowati Vanila
Penyunting: Ibrahim Ulin Nuha