Menu

Mode Gelap
 

Cerpen · 7 Feb 2022 15:45 WIB ·

Keluarga Kecil di Surga


 (Sumber Foto : Bincang Syariah) Perbesar

(Sumber Foto : Bincang Syariah)

 

Pena Pijar, Cerpen – “Nak. . . semoga kelak engkau senantiasa menjadi anak yang berbakti dan selalu bermanfaat bagi sekitarmu,” gumam seorang wanita yang tengah berbadan dua itu.

Kala itu aku masih berusia 120 hari di dalam kandungan bundaku dan sejak saat itu aku mampu merasakan segalanya yang Bunda katakan kepadaku secara tidak langsung. Bunda kerap mengajak aku yang masih di kandungnya itu bercengkrama ria, memanjatkan segenap doa serta fantasinya untuk aku kelak sembari mengelus perutnya dan aku dapat merasakan kasih sayangnya yang teramat sangat padaku.

Berbulan – bulan aku dikandungan bundaku, semasa itu pula aku dapat merasakan tangan halusnya tatkala ia membelaiku dan mendengar setiap kata yang ia lontarkan kepada buah hati yang ada di perutnya itu. Aku merasa amat senang tapi tunggu! Aku baru menyadarinya . . . dimana Ayahku? Mengapa ia tak pernah mengajakku bercakap seperti Bunda? Mengapa aku tak pernah merasakan tangannya? Apakah Ayah sibuk bekerja? Ingin rasanya aku bertanya pada bundaku detik itu juga.

Tanggal 22 Desember tahun 2004, hari dimana waktu itu tiba, waktuku melihat keelokan dunia ini serta memandang paras bundaku dan jangan lupakan perkara ayahku. Aku sangat ingin merasakan tangannya serta kasih sayangnya seperti yang bunda berikan kepadaku. Aku sangat tidak sabar akan hal ini! Bundaku memeras keringat tatkala melahirkanku dan akhirnya aku benar benar terlahir ke dunia ini. Suara tangisan pertama kali merebak dari mulutku, tapi perlu kalian ketahui sesungguhnya itu bukan tangis kepiluan melainkan tangisan tanda suka cita dari seorang bayi kecil yang akan merasakan dekapan serta kasih sayang bunda dan ayahnya. Tapi mengapa mengapa aku belum juga merasakan dekapan Bunda? Yang kudengar hanya suara tangis pilu seorang wanita yang aku yakini itu bukan suara Bundaku! Akupun mendengar suara lelaki yang sepertinya ia adalah seorang dokter yang membantu proses bundaku saat melahirkan tadi.

“ Maaf bu, karena keterlambatan penanganan pada Ibu Zahra,dengan berat hati kami menyampaikan bahwa anak ibu tidak dapat tertolong karena mengalami pendarahan postpartum pada rahimnya, namun bayinya masih dapat terselamatkan, dan saya menyampaikan turut berduka cita yang amat mendalam,” ucap dokter kepada seorang perempuan yang sedang menangis itu dengan penuh penyesalan.

Apakah yang kudengar itu nyata? Apakah Bunda benar benar meninggalkan aku? Aku masih tidak percaya. Bundaku, sosok yang selama ini menyangiku dengan segenap jiwanya telah pergi bahkan saat aku belum sempat memandang parasnya yang selalu kubayangkan selama ini, belum dapat aku merasakan halus lembut tangannya secara langsung. Tuhan, apakah secepat ini?  Baru aku terlahir ke dunia namun aku telah merindukan sosok bunda.

Bertahun – tahun aku hidup dan dibesarkan dengan baik oleh nenekku. Dia amat menyayangiku layaknya seorang ibu kepada anaknya. Nenek merupakan sosok yang lemah lembut,penyabar, pekerja keras dan jangan lupakan tentang parasnya yang menawan biarpun telah menginjak 40 tahun. Ia nampak awet muda dan aku yakin kalau paras nenek ini seiras dengan bundaku.

Binar mentari fajar merasuk dari celah jendela kamarku. Dengan pelan aku membuka mataku yang terasa berat dan mulai menegakkan badanku. Aku menghela napas menatap sebuah kalender yang terletak di dinding kamarku.

“Baiklah…Hari Senin! Saatnya menjalani kehidupan menyedihkan ini, semangat Asmita!” gumamku menyamangati diri sendiri.

Oh ya! Namaku Asmita Viviana Azzahra. Menurut nenek namaku memiliki definisi kemenangan yang indah, entahlah aku pun tidak yakin dengan definsi itu jika berlandaskan dari narasi hidupku yang amat jauh dari kata kemenangan. Sematan Azzahra di ujung namaku adalah nama dari bundaku. Aku merupakan seorang murid di salah satu sekolah favorit di Kotaku dan menuntut ilmu disana merupakan keputusan yang diambil oleh ayah dan nenekku. Ngomong-ngomong mengenai ayah, aku dengannya tidak menetap bersama sejak kecil. Aku bersama nenekku sedangkan ayah bersama keluarganya. Mengapa demikian? Menurut tuturan nenek, ayah dan bunda telah berpisah sejak aku dalam kandungan dan semenjak saat itupun ayah hidup bersama keluarga barunya. Akupun tidak bertanya lebih dalam soal itu karena sekedar membayangkannya telah mengundang lara. Beruntungnya ayah masih peduli kepadaku, sering berkunjung ke rumah nenek bahkan ayah menanggung semua biaya hidupku dan nenek. Kini ayah telah memilki istri dan anak yang kebetulan juga bersekolah di tempat yang sama denganku.

“Mit ini sarapannya sudah nenek bungkus! Kamu makan di sekolah saja soalnya ini hampir jam 7 loh nanti kamu terlambat!” Nenek meneriaki aku dengan suara khasnya itu sambil menyiapkan bekal untukku.

“Terimakasih Nek, Ashmita berangkat dulu Assalamualaikum!” Aku berlari setelah mencium tangan nenekku.

“Ini jam segini masih ada angkot ga sih”’ Aku bergumam pada diriku sendiri sembari berjalan tergesa – gesa sampai langkahku terhenti lantaran melihat sebuah mobil sedan mewah terparkir di depan pagar rumahku dan aku telah menduganya bahwa itu adalah mobil Ayah!

“Ashmita mari berangkat bersama Ayah sebelum kamu terlambat, Ayah juga lihat di sekitar sini sudah tidak ada angkot!” Teriak ayah kepadaku yang masih mematung ditempat, aku melirik kepada saudari tiriku yang duduk di belakang dan seperti biasanya dia selalu menatapku dengan sinis entah apa yang telah kuperbuat.

“Ashmita ayo cepat naik! 10 menit lagi upacara dimulai loh!” teriakan ayah memekik telinga dan akupun langsung naik ke jok depan di samping ayah.

Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti ucapan ayahku dan aku juga tidak ingin terlambat mengikuti upacara pagi ini. Sampai akhirnya kami tiba dan aku keluar dari suasana yang sangat canggung ini karena tak ada satupun celoteh dari mulut kami. Aku mencium tangan Ayah dan berpamitan lalu bergegas masuk ke sekolah.

“Ashmita!” Tiba tiba ada tangan yang menarik tanganku dengan kasar dan akupun telah menduga siapa pelakunya kalau bukan saudara tiriku yang amat membenciku itu.  Dengan wajah malas aku menatapnya.

“Apa?”

“ Gue ingetin ya! Jangan cari perhatian di depan Ayah gue lagi, lo itu udah memberi banyak beban buat Ayah dan keluarga kami! Sadar dong!” Kata Naya memakiku persis di depan wajahku. Aku yang benar benar muak berurusan dengannya hanya tersenyum dan pergi begitu saja. Aku yakin dia sangat kesal dengan responku, entahlah aku telah lelah dengan segala cacian mereka kepadaku bahkan hampir setiap hari di kelas, sial sekali bukan aku berada satu kelas bersama saudara tiriku itu? Aku bahkan tidak pernah betah berada di sekolah. Jika umumnya kisah anak sekolah identik dengan kisah tak terlupakan bersama sahabat atau kisah cinta monyet bersama pasangannya,namun tidak denganku, neraka adalah hal yang tepat untuk mendeskripsikan kehidupan sekolahku sejak dulu. Aku hanya ingin pulang bertemu dengan Nenek, satu satunya orang tulus yang menyayangiku. Sampai suatu hari itu terjadi. . .

“Assalamualaikum Nenek Ashmita pulang!” Seruku tatkala masuk ke rumah “ Nenek Ashmita pulang! Nenek dimana?” Teriakku lebih keras namun suara Nenek belum pula terdengar di telingaku. Aku bergegas mencari nenek ke setiap sudut ruangan di rumah.

“Astaga Nenek! Nenek bangun nek! Nenek kenapa?” Aku sungguh histeris melihat nenek terkapar lemah di dapur. Akupun segera menghubungi ayah dan kami bergegas ke rumah sakit.

“Bapak, nyawa Ibu Sri tidak dapat diselamatkan karena ibu Sri mengalami komplikasi penyakit yang dimilikinya, saya turut berduka cita,” ucap Dokter laki laki tua iu dengan penuh rasa prihatin.

Apa? Aku tidak percaya pada dokter itu, mana mungkin Nenek yang selalu nampak sehat meninggal karena beberapa penyakit yang dideritanya? Bahkan aku tak mengetahui penyakit apa yang diderita nenek selama ini. Atau mungkin Nenek menyembunyikan semuanya padaku? Aku merasa dunia berhenti berputar saat itu juga. Hatiku sangat hancur, air mata sudah tak dapat kubendung lagi, aku bahkan tak mampu berkata kata. Ayah memeluk aku yang sedang mematung berderai air mata, aku hanya belum sepenuhnya menyadari dan percaya bahwa nenek telah meninggalkan aku seorang diri.

Semenjak nenek pergi, kini aku tinggal bersama ayah dan keluarga tiriku. Rumah ini merupakan tempat yang pantas kusebut neraka kedua selain sekolahku. Aku tak punya pilihan lain selain tinggal di sini sampai lulus sekolah lalu mencari pekerjaan sendiri. Setiap hari ibu tiriku menyuruhku untuk melakukan seluruh pekerjaan rumah saat ayah tidak ada di rumah dan bersikap baik jika ayah telah tiba, terlihat seperti yang dikisahkan di film – film bukan? Belum lagi saudara tiriku yang memang sangat membenciku itu. Lengkaplah sudah penderitaanku ini rasanya.

“Kring!Kring!kring!” Aku dikagetkan dengan suara alarm di ponselku tepat jam 12 malam. Dengan setengah sadar akupun melihat notifikasi di layar ponselku dan ternyata itu adalah alarm pengingat bahwa besok hari ulang tahunku yang sekaligus bertepatan dengan hari kematian bunda. Sebenarnya setiap tahun aku tak pernah memperingati hari ulang tahunku dan aku tidak pernah berminat akan hal itu, mungkin hanya mengenang hari kematian bunda. Mengunjungi makam bunda setiap tanggal 29 Desember adalah rutinitas yang aku lakukan setiap tahunnya. Keesokannya akupun pergi mengunjungi makam bunda.

“Hai Bundaku sayang! Bunda apa kabar? Pasti Bunda sudah bertemu dengan Nenek ya di sana? Mita kangen kalian berdua tau! Sekarang Mita tinggal bersama Ayah dan keluarganya. Mita lihat mereka bahagia banget loh Bun! Makan malam bersama, liburan, bercanda bareng sampai Mita kepengen lihatnya hehe . . . tapi Mita suka sedih Bun karena mereka enggak pernah mengajak Mita padahal Mita pengen banget ngerasain makan malam,liburan bareng keluarga, kelihatannya seru banget,”  gelakku di sela obrolan aku dan Bunda “Tolong sampaikan salam rindu Mita ya Bun kalau bertemu Nenek disana!” aku memeluk nisan Bunda dengan sebelum meninggalkan makam.

Sesampainya di rumah aku langsung menaiki tangga untuk pergi ke kamarku yang kebetulan berada di lantai 2 sampai akhirnya aku menghentikan langkahku.

“Mita! Kamu pasti lapar kan? Kemarilah! Bergabung makan makan bersama kami!” Tunggu. . .  apa aku tidak sedang bermimpi? Ibu tiri yang selama ini membenciku mengajak aku untuk makan malam bersamanya! Sebuah keajaiban. Wajah saudara tiriku yang selalu menatapku sinis kini nampak berseri seri tersenyum kepadaku bahkan ayah pun terlihat bingung dan kaget. Sebenarnya selama ini ayah ingin sekali aku dapat bergabung menikmati makan bersama mereka tapi ibu dan saudara tiriku kurang setuju akan hal itu alhasil aku selalu menghabiskan makan malamku di kamar sambil menatap pendar bintang di balkon. Aku selalu membayangkan bahwa di antara bintang bintang itu terdapat bunda dan nenek yang menemaniku.

“Gakpapa Mita makan dikamar aja,” ucapku canggung karena masih diselimuti rasa heran.

“Makan bersama kita lah Mita sekali kali” dengan penuh rasa harap ibu tiriku membujuku.  Akhirnya akupun mengiyakan ajakan mereka untuk makan malam bersama. Ayah mencairkan suasana dengan candaannya kami semua pun tertawa sembari menghabiskan makan malam. Tuhan, inikah rasanya memiliki keluarga? Aku benar benar merasa senang.

Kilauan kedip bintang menghamburi dirgantara malam ini aku mengamatinya dari balik jendela kamarku. Indah sekali, tapi tunggu. . . kemana perginya rembulan di langit yang indah ini? Dengan rasa penasaran aku beranjak ke balkon agar dapat mengamati lebih jelas. Tiba -tiba aku ditakjubkan dengan sebuah panorama indah atau lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai keajaiban! Aku menyaksikan sebuah bulan yang sangat besar nyaris menyesaki langit. Aku menatap bulan di depan mataku dengan rasa tidak percaya sampai akhirnya aku melihat pantulan dua orang yang tiba – tiba mencuat lalu berjalan kearahku. . . semakin jelas sampai aku menyadari bahwa itu adalah Bunda dan Nenek! Aku langsung berlari dan mendekap mereka erat. Nenek tersenyum sembari menunjuk sesuatu. . . aku benar benar tertegun melihat sosok diriku yang lain sedang tergeletak di kasur dengan mulut. . . berbusa?

“Bun apa yang terjadi padaku? Kenapa aku ada di situ? Apakah aku sudah mati? Bagaimana bisa?” tanyaku bertubi – tubi kepada bunda.

“Benar sekali nak. . .  itu adalah jasad kamu, kamu diracuni saat makan malam oleh ibu tirimu malam itu.”

Benar – benar tidak masuk akal! Aku tidak percaya akan semua ini. Baru saja aku merasa senang diperlakukan dengan layak oleh keluarga tiriku dan ternyata aku diracuni oleh ibu tiriku sendiri! Sungguh dunia beserta mahluk di dalamnya ini benar – benar kejam dan licik, tapi setidaknya kini aku bahagia telah berkumpul dengan nenek dan bunda. Akhirnya anganku untuk memiliki keluarga kecil dapat aku rasakan walau kami telah tak berada di dunia lagi.

Ashmita Viviana Azzahra, kemenangan yang indah, kini aku telah merasakan definisi dari namaku itu ketika aku berjumpa dengan bunda dan nenekku. Anganku tentang keluarga kecil terlaksana di surge-Mu kini, terimakasih Tuhan.

 

Penulis : Dea Ari Wardani

 

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 485 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kilas Balik

28 Mei 2022 - 11:50 WIB

Mimpi

25 April 2022 - 00:16 WIB

Terjebak Rasa dan Hilang

31 Maret 2022 - 15:50 WIB

Perjuangan untuk Meraih Cita

23 Maret 2022 - 09:39 WIB

Sebatang Kara

13 Februari 2022 - 06:34 WIB

Antara Kawan dan Ego

6 Februari 2022 - 10:03 WIB

Trending di Cerpen