Pena Pijar, Opini – Zaman dahulu, kasta pria selalu menjadi yang pertama dalam hal segalanya. Mulai dari bidang politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, cinta, rumah tangga, hukum, dan lain sebagainya pria selalu di nomer satukan, sedangkan wanita selalu menjadi terbelakang. Diam di rumah melayani suami, seakan menjadi budak bagi seorang pria. Bahkan dalam istilah Jawa, wanita dalam hidupnya hanya melakukan 3 hal saja yang disebut 3M (Masak, Manak, Macak) sehingga wanita selalu tampak lemah dari berbagai sudut pandang yang membuat wanita sebagai tempat penindasan.
Disinilah tampak sekali batas-batas ataupun diskriminasi terhadap gender. Dimana, hak wanita tidak seimbang dengan kewajibannya, sedangkan para pria mengandalkan sistem patriarki yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi kaum pria untuk melakukan segala hasratnya.
Di Indonesia, sistem patriarki pernah dianut jauh sebelum kemerdekaan. Namun, meski tahun 45 telah usai dan telah termaktub dalam UUD 1945 pasal 28-30 yang menyebutkan mengenai hak dan kewajiban warga Indonesia, masih ada beberapa wilayah atau suku yang menganut patriarki karena kebudayaanya. Seperti Suku Minangkabau, dalam sistem kemasyarakatannya menggunakan matrilineal yaitu nama ibu menjadi simbol klan. Namun, masih ada diskriminasi terhadap wanita dalam hal lainnya.
Kemudian, dengan bertambah majunya pendidikan membuat masyarakat paham mengenai pasal-pasal hak dan kewajiban tersebut. Sosialisasi mengenai emansipasi wanita merajalela dimana-mana. Mereka menuntut topik kesetaraan gender harus terimplementasikan.
Sesungguhnya wanita tak perlu menuntut hal-hal semacam itu, karena wanita dan pria juga sama-sama manusia. Hanya memiliki perbedaan hormon yang mengakibatkan adanya karakteristik yang berbeda. Namun, dengan penyebab itu munculah mindsite yang membuat wanita selalu tampak di bawah pria derajatnya.
Dahulu, pejuang emansipasi wanita hanya orang-orang tertentu saja seperti R.A. Kartini. Sulit memang memperjuangkan sebuah emansipasi wanita. Perlu membuka mindsite masyarakat yang sudah mengakar mengenai kedudukan wanita seutuhnya. Dalam artikel di koran tersebut merupakan salah satu bagian dari emansipasi wanita.
Sampai sekarang topik kesetaraan gender masih menjadi hal aktual yang masih perlu di gencarkan sosialisasinya kembali. Karena masih banyak tindakan-tindakan tak senonoh terhadap perempuan. Selain itu, ada juga tindakan lain yang mengatasnamakan perempuan berdasarkan sandang yang dipakai, yaitu teroris. Khususnya masyarakat Indonesia, mayoritas dari masyarakat Indonesia berpikir bahwa, apabila ada perempuan yang mengenakan cadar, berbaju gelap, dan berjubah gelap secara otomatis kata bom, teror, ataupun pembunuhan muncul di benak mereka. Namun masalah ini kurang bersangkutan dengan topik kesetaraan gender. Sebab pikiran tersebut juga bisa muncul dari sesama wanita.
Di jaman milenial ini, topik kesetaraan gender terus menjamur dimana-mana. Disisi lain wanita menjadi bebas memenuhi hasratnya. namun, hal lain juga terjadi kaum pria. Apabila ada masalah yang terjadi antara si wanita dan si pria, maka si pria menjadi sorotan utama terjadinya masalah tersebut. Walaupun penyebab awal adalah dari si wanita.
Jadi, jika sekarang masyarakat dari pihak wanita maupun pria telah paham mengenai apa itu kesetaraan gender. Seharusnya mereka lebih saling menghargai antara hak maupun kewajiban masing-masing. Bukan menjadi suatu alasan atau celah untuk saling menyalahkan atau memanfaatkan untuk kepentingan gender masing-masing.
Hak dan kewajiban harus bejalan dengan seimbang agar kehidupan berjalan dengan harmonis dan selaras. Pula, kekurangan bukan menjadi alasan untuk menindas satu sama lainnya. Melainkan agar sssaling melengkapi.