Menu

Mode Gelap
 

Cerpen · 28 Mei 2022 11:50 WIB ·

Kilas Balik


 (Sumber Foto: Wartafeno) Perbesar

(Sumber Foto: Wartafeno)

Pena Pijar, Cerpen– Kala itu, 2030 negaraku sedang mengalami masa deteriorasi tataran kenegaraan. Presiden bukan hanya sebagai eksekutif Negara, melainkan juga menjabat secara fungsional sebagai legislative dan yudikatif Negara. Hal ini menyebabkan peran keduanya hanya sebagai informan atau sebagai moderator antara masyarakat dan presiden. Kedigdayaan partai kancil, penopang presiden semakin menjadi-jadi setelah beberapa partai politik pun merapat berafiliator padanya. Di ranah oposisi, hanya tersisa dua partai politik yang teguh dengan prinsip masing-masing utnuk tidak mengemis pada partai kancil dan tetap bergerak sesuai prinsipnya, yaitu partai nusantara dan partai swalayan. Pastinya melihat gerakan kedua partai politik tersebut yang beroposisi dengannnya, dalam gerak politiknya, partai kancil membuat scenario menggiring arus pemikiran masyarakat untuk menyerang serentak kedua partai, yang menurut partai kancil sok idealis itu. Padahal menurutku, menjadi idealis adalah suatu kebebasan untuk tidak memihak pada siapapun, dan untuk problema ini, aku berada di oposisi partai kancil, tapi aku juga bukan tim afirmasi dari partai nusantara dan partai swalayan. Aku hadir untuk bahu-membahu mengeraskan sirine kebenaran.

Namaku Gie Alfiansyah, biasa dipanggil “Gie” mahasiswa semester muda fakultas sastra di universitas utopia. Pada saat aku baru memasuki kehidupan kampus, kebanyakan orang yang memanggilku “Gie”, mereka menyamakannya dengan salah satu tokoh pemuda peruntuh demokrasi terpimpin kala itu, “Soe Hok Gie”. Aku juga sempat bertanya pada ibuku, kenapa ayah memberi nama Gie untukku, karena menurutku kurang bermakna. Pada waktu itu, Ibu berkata bahwa Almarhum ayahku sangat mengidolakan salah satu pemuda idealis yang sangat berpihak pada masyarakat-masyarakat kecil. Katanya, pemuda itu salah satu pemuda revolusioner peruntuh demokrasi terpimpin, yaitu Soe Hok Gie. Ibu juga menjelaskan bahwa foto-foto pemuda keturunan tionghoa yang ada di ruang tamu, kamarku dan kamar ibuku adalah foto Soe Hok Gie. Sebelum mengakhiri pembicaraan, ibu berpesan “Almarhum ayahmu sangat ingin nantinya anak semata wayangnya ini juga meneruskan perjuangan dan pemikiran Soe Hok Gie.”

Mendapat panggilan “Gie” di dalam kampus, Aku menjadi sorotan oleh mahasiswa-mahasiswa aktivis yang juga mengenali tokoh “Gie” melalui biografi-biografi tentangnya. Beberapa dari mereka seringkali mengajakku untuk berdiskusi mengenai perpolitikan baik di tataran kampus maupun tataran negara karena menurut mereka aku memiliki gagasan istimewa yang mahasiswa lain tidak memilikinya. Itu menurut mereka, bukan menurutku. Tapi saat itu, aku selalu menolak ajakan mereka untuk berdiskusi karena menurutku kurang menarik untuk dibahas dan it was not my basic. Di dunia kampus, saat sebelum aku mengenal dunia aktivis, aku adalah mahasiswa yang aktif untuk perkembangan dan pengembangan diriku sendiri karena saat itu, menurutku ini adalah bentuk kebebasan. Kalau kata mahasiswa sekarang “individualis-apatis”, yaitu mahasiswa yang abai dengan keadaan sekitar dan hanya focus pada perkembangan dan pengembangan diri sendiri. Di lain sisi, sebenarnya aku juga aktif dalam memperbarui pengetahuanku tentang perpolitikan di Indonesia waktu itu. Tapi hanya sebatas mengetahui, tidak untuk mengkritisi, bahkan sampai pada advokasi. Sampai pada suatu saat, ada seorang sahabatku, yang juga salah satu mahasiswa aktivis kala itu, memakiku secara halus, “Kamu tidak malu dengan namamu, Gie?” ujarnya padaku. “Kenapa harus malu? Aku justru bangga, ternyata banyak yang mengenali sejarah namaku.” Jawabku saat itu. Sungguh tidak dapat aku prediksi, ia justru menghantamku dengan cercaan halusnya. “Soe Hok Gie, dengan idealisnya berkontribusi meruntuhkan demokrasi terpimpin kala itu dan berlanjut mengkritisi kepemimpinan orde baru yang justru semakin seenaknya sendiri. Kamu tahu, Gie? Itu bentuk tanggungjawab yang dilakukan oleh Soe Hok Gie. Lihatlah dirimu, Gie! Apa yang kamu banggakan? Individualis yang katamu idealis? Kamu sudah melakukan apa, Gie sehingga kamu layak bangga atas nama agung yang kamu sandang? Ayolah, Gie! Tumbuhkan ghiroh perjuangan Soe Hok Gie dalam kalbumu. Jangan hanya simpan ide-ide cemerlangmu yang berkemaslahatan dalam tempurung otakmu saja, gemakan itu, Gie, banyak yang menanti akan itu. Terbukti di artikelmu dalam berita harian kala itu. Banyak orang yang tergairahkan oleh tulisan-tulisan magismu itu, Gie. Ingatlah,Gie! Kenapa orang tuamu memberi nama Gie untukmu.” Aku tertampar mendengarnya. Batin dan logika seakan dicerca reruntuhan batu besar, sehingga aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku membisu, tenggelam dalam kehampaan lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku menjatuhkan ponsel yang aku pegang dan seketika itu aku tersadar bahwa sahabatku beranjak meninggalkanku.

Peristiwa itu sering membuatku melamun memikirkan kata-kata yang diucapkan sahabatku tentang diriku. Apa aku salah seperti ini? Toh aku tidak merugikan orang lain. Jika aku peduli, aku harus apa? Apa dan siapa yang harus aku perjuangkan? Untuk apa aku akan berjuang? Apa aku harus ikut bersamanya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mencerca pikiranku setiap saat, sehingga terkadang aku lupa akan kebutuhan diriku sendiri bahkan ibuku sempat beberapa kali menegurku karena sering melamun akhir-akhir itu. Akhirnya aku berusaha bercerita pada ibu perihal sebab lamunanku akhir-akhir itu. “Gie.. Ibu yakin apa yang dikatakan sahabatmu itu adalah hal yang seharusnya pemuda sepertimu lakukan, Nak. Kamu jangan ragu. Ibumu merestuimu, Nak.” Jelas ibuku, sambil membenarkan perkataan sahabatku. “Lalu aku harus bagaimana, Bu?” tanyaku padanya. Belum sempat menjawab pertanyaanku, Ibu langsung beranjak ke kamarnya dan kembali membawa sebuah buku. “Baca ini, Gie! Kamu akan tahu, kamu harus apa?” ujarnya. “Catatan Seorang Demonstran.” Gumamku lirih membaca judul buku itu.

Butuh dua hari untuk aku menyelesaikan dan benar-benar memahami maksud dan amanat yang disampaikan Soe Hok Gie dalam bukunya. Menurutku ada dua hal yang dapat aku tangkap dari buku dan akan ku jadikan dasar, mengapa aku harus terjun. Pertama adalah tentang prinsip, sedangkan yang kedua adalah merdeka. Prinsipku adalah tetap berada dalam jalur menegakkan kebenaran dengan tanpa keberpihakan, kecuali terhadap kebenaran. Sedangkan merdeka adalah kebebasanku dalam memilih jalan, terjun atau tidak. Sedikit demi sedikti, ghiroh perjuanganku mulai tumbuh dan aku pun mulai aktif baik membaca berita, buku, dll maupun mengikuti seminar-seminar tentang kebangsaan. Hal ini aku lakukan, agar apapun yang nantinya aku lakukan tidak subjektif menurut perspektifku sendiri, melainkan berdasar dari beberapa referensi bahkan dasar hukum yang aku pelajari.

Minggu-minggu setelah itu, aku sudah mulai aktif menyumbang tulisan di berbagai berita harian. Tulisan sederhana, kritik yang aku kemas dalam bentuk anekdot. Siapa sangka? Tulisan seperti itu dalam minggu-minggu terakhir sedikit meledak dan banyak digandrungi baik oleh mahasiswa, dosen dan guru-guru tua muda yang peduli akan reformasi jilid II. Cukup memuaskan. Setelah banyak mendengar dan membaca keadaan yang semakin lama, semakin menjunjung namaku. Aku sejenak menghela nafas dan bertanya pada diriku sendiri “Setelah ini kamu mau bagaimana, Gie? Terus seperti ini atau lebih terus terang.” Sesuai prinsipku, aku hadir bersama prinsip menyuarakan kebenaran untuk negeriku tercinta.

Kondisi perpolitikan Indonesia kala itu memang sudah tidak karuan, terlebih ketika Presiden mewacanakan kebijakan perpanjangan struktural pemerintahan yang ketiga kalinya. Wacana itu semakin kuat dengan adanya pengklasifikasian ulang perkotaan dan proyek besar peralihan jantung ibu kota ke kota Gersang. Hal ini dilansir dari berbagai sumber, peralihan jantung ibukota dilakukan untuk eksploitasi besar-besaran terhadap kota tersebut, karena sebelumnya operasi yang ditawarkan pemerintah tidak menghasilkan apa-apa alias nihil.

Antara iya dan tidak. Meskipun kebijakan ini masih dilematis, wacana ini menjadi berita panas yang akan berkelanjutan dan menjadi bahan kajian dari berbagai golongan mahasiswa dan organisasi masyarakat yang khawatir akan terulangnya deteriorisasi tatanan kenegaraan di era 90-an. Menyikapi hal itu, beberapa kali aku diajak berdiskusi oleh berbagai golongan mahasiswa, kali ini aku terima karena aku sadar, aku juga mahasiswa. “Sebelum kita membahas lebih dalam, saya akan sedikit memberi pengantar diskusi untuk kita semua. Keakuratan hasil kajian harus menjadi point prioritas dalam kajian ini. Kedua, kematangan pemahaman untuk menganalisis dan merumuskan strategi-strategi sebagai bentuk perlawanan konkret yang berdasar, juga harus benar-benar menjadi pegangan berdialektika hari ini. Kita juga harus lebih mawas diri, karena lawan kita bukan hanya si pemerintah, tetapi juga media-media dan orang-orang serakah lainnya yang dipayungi oleh pemerintah. Kawan-kawanku semuanya, gerakan kita adalah penentu masa depan bangsa esok. Jika kita terhipnotis oleh kedigdayaan mereka hari ini, maka anak-anak kita akan teraniaya oleh sihir mereka. Sebagai mahasiswa, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu berada pada titik oposisi pemerintah, karena ini sebagai bentuk penyeimbangan sosial. Siapapun itu pemeimpinnya. Tetap pegang teguh ke-idealisan kita semua. Panjang umur hal-hal baik! Salam mahasiswa!!! Merdeka!!” Serentak keseluruhan menjawab”Merdeka!!”

Dengan kondisi yang semakin tidak jelas saat itu, hanya ada satu media pers yang menurutku paling independen dan pro terhadap rakyat, yaitu Nada Rakyat. Aku semakin sering mengirimkan tulisan-tulisan kritik untuk dipublikasikan ke khalayak. Hal ini aku tujukan agar masyarakat dari berbagai kalangan dapat tersadarkan dan tidak terhegemoni oleh arus yang dibuat pemerintah. Tidak hanya melalui tulisan, aku juga menyatakan perlawanan melalui podcast milik bang Karni Ilyas, yang saat itu menjadi satu-satunya ruang yang tidak ditunggangi oleh kepentingan apapun, kecuali kebenaran. “tidak bisa dipungkiri, bang karni. Hari ini rakyat sudah dimonopoli oleh polemic yang secara sengaja dirancang se-eksotis mungkin oleh pemerintah, sehingga mampu menggiring arus pemikiran masyarakat. Meskipun ada beberapa yang tidak terpengaruh, tapi dengan terpaksa, mereka harus ikut dan menyetujui kebijakan karena ada ancaman dan jaminan mengenai sandang pangan mereka. Ok, hari ini kita ikut dan seakan dimanja oleh pemerintah. Tapi 4-5 tahun ke depan, kita semua akan menjadi kayu kering yang fungsinya kalau tidak dibuang ya menjadi bahan bakar. Se-rendah itu ya, Bang. Maka dengan ini, Bang. Atas nama rakyat Indonesia dan mahasiswa seluruh Indonesia, saya tidak akan diam dan akan terus melakukan perlawanan atas ke-kurangajaran pemerintah hari ini. Saya tidak akan berhenti sampai ini tuntas atau sebaliknya, saya yang dituntaskan” tukasku jelas, memberikan kecaman perlawanan kepada pemerintah.

Banyak yang mencariku kala itu. Beberapa media juga santer membicarakan tentangku. Melansir dari Nada Rakyat yang menulis berita tentangku berjudul “Gie, Pemuda Pelopor Pembaharuan Bangsa” dikatakan bahwa aku masuk nominasi salah satu dari 10 pelopor muda terkemuka di dunia. Dengan beberapa berita yang semakin mengangkat namaku, aku berpikiran bahwa ini akan semakin mudah menyadarkan masyarakat dari berbagai tataran untuk menarik barisan dari pemerintahan dan menyongsong barisan baru, yaitu barisan perlawanan. Di lain sisi, aku juga menjadi target utama pemerintah untuk dibumihanguskan. Sama sekali aku tidak takut. Semakin aku menyuarakan kebenaran, semakin aku siap untuk mati.

“Gie! Kamu pulanglah segera. Ada berita buruk!” tiba-tiba tanteku meneleponku dan menyuruhku pulang waktu itu. Aku terheran, dengan keadaan luar yang seperti ini, apa yang sedang terjadi di rumah? Aku pun bergegas pulang dari kampus, setelah melakukan pertemuan-pertemuan dengan aliansi mahasiswa seluruh Indonesia. Tiga hari sudah aku belum pulang sama sekali. Berkabar pada Ibu pun tidak.

Sesampainya di gang depan rumah, aku melihat keramaian di sekitar rumahku. Aku pun bertanya pada mereka yang berada di luar “ada apa ramai-ramai ya? Kenapa semua berkumpul disini?” Tidak ada yang menjawab. Suasana hening, perasaanku tidak lagi tenang. Seketika aku membuka pintu, aku melihat ibuku terkapar dengan beberapa titik di perutnya yang mengucurkan darah. “Tante!! Kenapa tidak segera dibawa ke rumah sakit?? Ayo cepat ke rumah sakit!” tanpa basa-basi, aku berusaha membopong ibuku keluar. Tapi ibuku menahannya dan berkata “Gie! Anakku! Kamu tidak berada di jalan yang salah, Nak. Teruskan apa yang kamu perjuangkan. Buat bangga ayah dan ibu ya, Nak. Ibu merestuimu hingga akhir hayat ibu.” Itu pesan terakhir dari ibuku. Aku harus kehilangan satu-satunya orang yang tersisa dari keluarga kecilku. Ibuku meninggal dibunuh oknum yang beberapa kali mencariku dan mengancam membunuhku karena menurutnya aku terlalu ikut campur dalam urusan pemerintahan.

Duka atas meninggalnya ibuku, tidak aku jadikan luka dan penyesalan berlarut-larut atas segala perjuanganku selama ini. Tidak juga mengurangi semangatku dalam melanjutkan perjuanganku, seperti apa yang diamanatkan ibu padaku. Semuanya memang terjadi di luar prediksi, inilah takdir Allah, kita tidak pernah tahu, kapan itu datang. Kini semuanya semakin terasa klimaks.

Tujuh hari pun usai sejak meninggalnya ibuku. Kemudian aku kembali melanjutkan aktifitas-aktifitasku sebelumnya yang sempat tertunda karena musibah yang sedang menimpa keluargaku. Aku menemui pimpinan redaksi Nada Rakyat untuk mengirimkan tulisan-tulisanku selama tujuh hari itu. “Gie, ini sedikit riskan. Aku bisa menerbitkan yang lainnya, tapi tidak dengan yang ini.” ujar pimpinan redaksi Nada Rakyat menolak satu tulisanku untuk diterbitkan kala itu. “Pak, saya mohon. Tolong ini diterbitkan. Ini yang akan membakar semangat rakyat dan ini yang akan membuat pemerintah semakin gelagapan. Saya mohon, Pak.” Pintaku sambil memohon-mohon padanya. “Baiklah. Tapi aku harus berkonsultasi pada pimpinan utama perusahaan ini. Jika dizinkan, aku akan melakukan. Tapi jika tidak, maaf, Gie aku tidak bisa melakukan apa-apa.” Aku menyetujui permintaannya. Ia pun langsung menuju ruangan pimpinan utama Lembaga Pers Nada rakyat ini. Aku sedikit gelisah menunggu di luar karena khawatir ia tidak memberi izin ata ini. “Publish, Gie! Tunggu saja besok beritanya.” Ujarnya. “Terimakasih, pak.” Setelah menjabat tangannya, aku langsung keluar dan kembali menemui teman-teman aktivis yang lainnya.

Esoknya, seluruh tulisanku yang isinya kritik objektif telah terbit, hingga ini memunculkan petisi untuk melengserkan presiden beserta jajarannya kala itu. Menyikapi hal itu, presiden bersama lembaga legislative dan yudikatif lainnya tergesa-tergesa mengadakan rapat tertutup untuk mencari solusi atas petisi itu. Tepat pukul 02.00 pagi hasil rapat diputuskan dan dipublikasikan.

Keadaan di luar semakin carut-marut. Presiden resmi memperpanjang masa jabatannya hingga 2034 atau selama tiga tahun mendatang. Semuanya tidak terkontrol. Amarah rakyat sipil, mahasiswa, dan ormas lainnya pun semakin beringas, dan siap melakukan demonstrasi besar-besaran.

Dengan tegas dan tanpa membuang-buang waktu, kelompok mahasiswa melayangkan surat audiensi untuk berdialog dengan presiden kala itu. Namun apalah daya, jalan damai yang diajukan mahasiswa pun tidak digubris olehnya. Tanpa berpikir panjang, satu-satunya cara untuk meruntuhkan kedigdayaan presiden dan partai-partai yang berafiliasi padanya adalah demonstrasi besar-besaran.

Tanggal 20 Mei 2027, bertepatan dengan hari kebangkitan pancasila, rakyat sipil, ormas, dan golongan mahasiswa bersatu-padu melakukan demonstrasi besar-besaran di halaman istana presiden. Mereka semua semakin tidak terkontrol melakukan demonstrasi dimana-mana. Aparat polisi, tentara dan sejenisnya semakin sibuk menghalang dan menyetrilkan lapangan karena ulah ormas dan mahasiswa yang semakin menjadi-jadi. Demonstrasi akbar jilid III terkait keserakahan presiden pun terjadi. Gedung-gedung yang dibawah naungan pemerintahan hancur tidak karuan. Korban bergeletakan. Proyek-proyek yang menjadi alasan kenapa struktural pemerintahan harus diperpanjang dari tahun-tahun sebelumnya, kini semuanya diambil alih oleh ormas-ormas yang tidak sabar akan kelambatan-kelambatan yang secara sengaja direncanakan untuk memanifestasi ke-oligarkian Presiden dan partai kancil. “Negara ini milik rakyat, bukan milikmu, orang-orang bangsat!!!” makian salah seorang demonstran kala itu. Se-anarkis itu tragedy Mei 2027. Berkat rahmat Tuhan yang Esa dan diiringi spirit perjuangan persatuan, kala itu kami berhasil meruntuhkan kedigdayaan rezim partai kancil. Namun pasca itu, tepatnya sebelum era reformasi dimulai, ada tragedy penculikan terhadap mahasiswa-mahasiswa pelopor kala itu. Banyak dari kami yang tertangkap, termasuk aku, kemudian diasingkan. Pada akhirnya aku selamat dan dibebaskan, karena waktu itu kumpulanku di sel adalah orang-orang biasa, sehingga mereka tidak mungkin mau mencari tahu tentang kami. Aku akui, kami menang waktu itu, tapi terlalu banyak yang terkorbankan. Jasad-jasad mereka yang mereka yang terculik, sampai saat ini masih tidak ada wujudnya.

Sampai detik ini, aku tetap konsisten melakukan kririk pada tataran pemerintahan melalui karya-karya sastraku. Kebenaran tidak akan pernah mati dan akan terus hidup dan dihidupkan oleh peradaban.

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 215 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mimpi

25 April 2022 - 00:16 WIB

Terjebak Rasa dan Hilang

31 Maret 2022 - 15:50 WIB

Perjuangan untuk Meraih Cita

23 Maret 2022 - 09:39 WIB

Sebatang Kara

13 Februari 2022 - 06:34 WIB

Keluarga Kecil di Surga

7 Februari 2022 - 15:45 WIB

Antara Kawan dan Ego

6 Februari 2022 - 10:03 WIB

Trending di Cerpen