Pena Pijar, OPINI – Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang menjadi salah satu pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Didalamnya memuat nilai-nilai luhur yang dimiliki masyarakat Indonesia. Presiden Soekarno menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia yang telah memiliki suatu filosofi yang hidup berabad-abad lamanya. Maka dari itu perlunya dilestarikan nilai-nilai Pancasila dengan menghidupkan kembali filosofi masyarakat Indonesia melalui kelahiran Pancasila per tanggal 1 Juni (Dariyo, 2020).
Menurut Koentjaraningrat (2002) “budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa dimana suatu golongan manusia terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan”. Dalam hal ini Indonesia memiliki kearifan lokal dan nilai-nilai Pancasila yang berperan sebagai pemersatu bangsa. Di Jawa khususnya di Jawa Timur terdapat berbagai macam tradisi yang memiliki kandungan nilai filosofis Pancasila. Misalnya sedekah bumi, kenduri, ruwatan, wiwit, peringatan malam satu suro, pagelaran wayang kulit, melarung sesaji dll. Tradisi tersebut dibawa oleh para leluhur dan diturunkan secara berkesinambungan dari satu generasi kepada generasi berikutnya untuk di lestarikan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.
Alasan mengapa tradisi yang telah disebutkan diatas kental dengan nilai-nilai Pancasila adalah karena sebenarnya terselenggaranya tradisi tersebut sebagai wujud terimakasih dan mensyukuri nikmat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat dan mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan sosial masyarakat. Dalam ajaran kejawen terkenal dengan istilah “Manunggaling Kawula Gusti” dimana maksud dari falsafah tersebut manusia harus mendekatkan diri kepada Tuhan untuk menciptakan ketenangan batin. Dari poin ini kita ketahui bahwa tradisi ini sesuai dengan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan yang Maha Esa sebenarnya mempengaruhi sila yang lain juga, setiap warga negara Indonesia wajib untuk beribadah sesuai dengan agama yang dipeluknya. Melalui ibadah tersebut, setiap individu diharapkan memiliki sikap iman yang teguh dan kuat, sehingga dalam berperilaku juga benar-benar mencerminkan pribadi yang baik. Sehingga perilaku yang mencerminkan sila yang lain seperti kemanusiaan, persatuan, gotong royong, dan keadilan diharapkan sesuai juga dengan pancaran keimanan individu tersebut (Wartoyo, 2018).
Adanya tradisi tersebut tentu adanya pertemuan antar individu yang menciptakan sebuah interaksi sosial. Setiap masyarakat memiliki tujuan yang sama, mereka menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan sikap kepedulian, kepekaan, kekompakan, dan bersosialisasi dengan komunitas masyarakat. Sehingga terciptanya manusia yang beradab dan berbudi luhur. Hal tersebut tercermin dalam sila pancasila kedua yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Selain itu masyarakat Jawa memiliki keinginan kuat untuk hidup rukun, damai dan tetap dalam satu-kesatuan yang utuh. Dengan adanya acara berkumpul maka akan terjalin komukasi harmonis yang dapat meningkatakan rasa persatuan dan kesatuan, sehingga terhindar dari perpecahan. Inilah wujud sila ketiga Persatuan Indonesia.
Sebelum penyelenggaraan tradisi diadakannya musyawarah dengan pemimpin desa, tokoh masyarakat dan warga sekitar. Mereka bebas mengemukakan pendapat tentang konsep kegiatan. Sesi diskusi terjadinya perbedaan pendapat sudah menjadi hal biasa dan mampu menerima keputusan yang telah disepakati bersama-sama. Hal ini menunjukkan adanya nilai Pancasila ke empat yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Dalam sebuah acara tradisi masyarakat berkumpul menjadi satu ada yang kaya, miskin, pejabat, pengangguran, dll. Semua elemen diundang dalam satu acara yang sama tanpa adanya deskriminasi. Mereka memberi sumbangan uang dan tenaga untuk terselenggaranya acara. Dalam konteks ini menunjukkan adanya keadilan sosial dimana semua masyarakat diperlakukan secara adil sesuai dengan sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Untuk itu tradisi sedekah bumi, kenduri, ruwatan, wiwit, peringatan malam satu suro, pagelaran wayang kulit, melarung sesaji, dan lain sebagainya, perlu terus dilestarikan. Meskipun dalam kehidupan bersama terdapat perbedaan ras, suku, agama, dan budaya masyarakat tetap bersatu dan bergotong royong melestarikan sebuah tradisi. Dengan melestarikan tradisi secara tidak langsung juga mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana kita sebagai warga negara Indonesia tetap memiliki sikap nasionalisme.
Penulis: Anisa Rahmawati