Pena Pijar, Artikel – Setiap tanggal 21 April masyarakat selalu memperingati hari Kartini, dimana di tanggal tersebut lahir seorang perempuan yang sangat fenomenal akan perjuangannya yang bergerak untuk merealisasikan emansipasi wanita.
Perjuangan Kartini lambat laun menginspirasi banyak kaum wanita untuk bergerak, berusaha untuk mengangkat derajat dan martabat wanita yang dipandang rendah oleh stigma masyarakat lama.
Salah satu tokoh perjuangan emansipasi dan inspirasi pendidikan wanita di masa lalu adalah Nyai Siti Walidah. Siti Walidah lahir di Kampung Kauman pada tahun 1872 M, putri dari H. Muhammad Fadhil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim, penghulu Kraton Yogyakarta.
Beliau adalah istri dari KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah, Nyai Siti Walidah merupakan seorang tokoh perempuan yang menggagaskan adanya wadah pergerakan wanita pertama yang disebut ‘Aisyiyah pada 22 April 1917, tetapi sebelum itu tepatnya pada tahun 1914 Nyai Siti Walidah mendirikan organisasi “Sopo Tresno” .
Usaha beliau untuk meningkatkan derajat perempuan serta merealisasikan pendidikan untuk kaum perempuan tidaklah muda. Beliau berulangkali ditentang oleh “kaum tua” karena dianggap melanggar kesusilaan terhadap wanita yang menurut kaum tua, wanita adalah “Konco wingking” yang artinya wanita adalah teman di belakang (dapur).
Nyai Walidah berusaha menghapuskan stigma tersebut, beliau juga sempat melakukan perlawanan terhadap sistem kawin paksa, dimana wanita-wanita muda kala itu dipaksa untuk menikah oleh orang tua mereka, tetapi hal tersebut banyak ditolak oleh Nyai Siti Walidah.
Nyai Siti Walidah adalah salah satu pemrakarsa pondok pesantren asrama wanita di Kauman, Yogyakarta yang digunakan untuk menyempurnakan formula pendidikannya.
Asrama ini didirikan di rumahnya pada tahun 1918 dan berkembang cukup pesat dengan menampung banyak murid dari Kauman maupun luar kota. Di asrama ini, Nyai Ahmad Dahlan memberikan pendidikan keagamaan dan ketrampilan termasuk ketrampilan berpidato dan pendidikan keputrian.
Beliau semasa hidupnya selalu mendedikasikan pemikirannya untuk kemajuan wanita di sekitarnya khususnya di wilayah Kauman, Yogyakarta. Hingga di penghujung usianya beliau menitipkan pesan untuk kader ‘Aisyiyah agar meneruskan perjuangan mulianya.
Penulis: Mahatma Fattah Rama Romansa
Sumber: Buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang menginspirasi, Karya: Lasa H. S