Pena Pijar, Opini – Percepatan teknologi informasi dan derasnya arus globalisasi tentunya tidak berjalan begitu saja. Hukum kausalita yang berlaku dalam kehidupan ini benar adanya. Sebab dan akibat selalu berjalan beriringan. Tak mungkin ada akibat jika tanpa sebab, begitu pun sebaliknya.
Akibat percepatan yang terjadi di segala lini memberi banyak dampak dan membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial di setiap pergantian era. Termasuk yang terjadi di kehidupan sekarang ini. Berbagai macam pemberitaan terkait isu sosial, politik, ekonomi, bisnis, kesehatan bertebaran di media maya. Konsumsi wajib manusia sekarang adalah sosial media.
Krisis kemanusiaan rasanya sudah semakin menipis, mirisnya bukan dari kalangan orang-orang yang tak berpendidikan tetapi justru dari mereka yang menjadi bagian penting di lingkungan masyarakat. Artinya mereka sudah lebih terdidik dari kebanyakan masyarakat awam. Kasus pembunuhan Brigadir J yang akhir – akhir ini ramai diperbincangkan. Terungkapnya pelaku dan korban merupakan seorang polisi yang merupakan aparat negara dengan tersangka yang juga sama profesinya. Berita lainnya juga muncul istri seorang tentara yang tertembak. Pelakunya adalah tentara itu sendiri dengan berita akhir sendirinya (tentara) pun ikut melakukan aksi bunuh diri. Dan yang lebih tidak memanusiakan lagi adalah lembaga kemanusiaan yang berdiri untuk membantu masyarakat membutuhkan justru terlibat dalam kasus korupsi (penggelapan dana). Sungguh ironis.
Kehidupan manusia sebuah permasalahan adalah bumbu penyedap untuk menstabilkan ekosistem yang ada. Namun ketika rasa kemanusian hilang apakah semuanya akan tetap stabil?.
Dari contoh kasus yang terjadi wajar jika masyarakat awam mempertanyakan kembali fungsi pendidikan, bahkan pentingnya pendidikan tinggi. Bagaimana orang mau meniru jika contohnya saja tidak layak untuk ditiru. Pentingnya kejujuran dan menjaga diri agar tidak masuk dalam praktek korupsi sebetulnya bisa dilatih dengan peduli atau berempati terhadap lingkungan sekitar. Memupuk empati secara tulus dan terus menerus. Mulailah dari hal-hal kecil tentu akan semakin tumbuh rasa haru, prihatin, dan kepedulian yang tinggi terhadap mereka yang berada jauh dibawah kita, mereka yang tertindas, dan mereka yang membutuhkan kehadiran kita.
Kontroversi pentingnya pendidikan yang masih sering diperpedebatkan di beberapa kalangan harusnya membuka mata hati bagi seluruh pelaku yang ada di ranah dunia pendidikan. Empati sesungguhnya seringkali dikemas dengan keadaan motivasi yang sebenarnya itu justru meracuni. Bersikap seakan baik nyatanya kata-kata motivasi yang diutarakan justru membuat keadaan semakin rumit. Empati di era sekarang minim ketulusan, ingin terlihat berempati justru malah memiliki segudang tujuan tertentu.
Dalam sebuah film berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Film yang menggambarkan kondisi pendidikan yang memprihatinkan serta kondisi politik yang masih kacau dengan tingkat korupsi cukup tinggi. Dalam film tersebut ada sebuah dialog yang menarik tentang pendidikan. Salah seorang tokoh dalam film tersebut yang mana lulusaan sarjana pendidikan mengatakan “Lu nyuruh gue jelasin pentingnya pendidikan, gue sendiri gak yakin pendidikan itu penting”. Lalu temannya menjawab, “sejak kapan menyadari itu. Lalu dijawab lagi setelah lulus kuliah. Yang kemudian di jawab lagi oleh temannya bahwa itulah hasil pendidikan, dengan kamu berpendidikan akhirnya kamu mengatahui bahwa pendidikan itu tidak penting.
Sindiran tersebut cukup menarik yang dikemas dengan candaan yang menggambarkan keadaan pendidikan dan politik di negeri ini. Berdebat tentang penting atau tidaknya pendidikan bahkan sampai ditinggal pendidikan tinggi tidak akan usai jika dilihat dari dua sudut pandang orang dengan latar belakang yang berbeda.
Pendidikan memanglah penting bahkan sangat penting. Pepatah mengatakan “Tuntutlah ilmu walau ke negeri cina”. Pepatah ini memberi gambaran bahwa mencari ilmu jangan berhenti disatu titik, belajar tak mengenal jarak dan tempat. Lalu mengapa pendidikan hingga perguruan tinggi dikatakan penting?
Seperti yang disampaikan diawal bahwa percepatan teknologi informasi dan derasnya arus globalisai ini ada hukum sebab akibat yang menemani. Jika sesorang tidak mau, tidak bisa, dan enggan untuk adaptif maka orang itu akan mengalami kemunduran atau stagnasi dalam hidupnya. Sedangkan dalam faktanya kehidupan ini bersifat dinamis.
Pendidikan tinggi akan selalu menuntut seseorang adaptif dengan sekitarnya, mengetahui tentang apa yang sedang terjadi di kehidupannya. Pendidikakan tinggi juga akan memberi ruang lebih untuk mempelajari ilmu yang tidak dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang yang berbeda tentunya akan menghasilkan sesuatu yang berbeda juga. Keseimbangan diperlukan untuk seseorang agar bisa hidup selaras dengan situasi dan kondisi. Adab, ilmu, dan empati, menjadi tiga hal penting untuk menjaga keseimbangan dalam menjalani kehidupan ini.
Ilmu tanpa adab tidaklah begitu berarti. Adab dan ilmu tanpa empati apalah artinya jika kita bisa makan dengan sopan dan tau tata cara makan yang baik dan benar, serta mengetahui nilai gizi pada makanan itu namun kita tetap bisa makan, sementara disamping ada tetangga yang sedang kelaparan dan mengalami kesulitan. Yang dibutuhkan adalah Real Empathy bukan Toxic Positivity.
Penulis: Mila