Menu

Mode Gelap
 

Opini · 16 Apr 2025 12:33 WIB ·

Perempuan yang Melawan, FoMo atau Kewajiban?


 Perempuan yang Melawan, FoMo atau Kewajiban? Perbesar

Apabila berbicara mengenai perempuan, masih banyak pandangan yang menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Hal ini yang akan memunculkan budaya patriarki. Patriarki sering menjadi masalah untuk setiap negara, patriarki tidak hanya soal laki-laki yang mendominasi tetapi juga hierarki militeristik di antara laki-laki. Akibat dari budaya patriarki dapat memunculkan berbagai masalah seperti penindasan terhadap perempuan, pembantaian dan genosida, serta penggunaan pemerkosaan atau kelaparan sebagai kebijakan (Kate Millett 1970). Hingga saat ini di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan masih belum reda. Kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan mengalami lonjakan. Komnas Perempuan dalam laporan CATAHU 2024 mencatat peningkatan sebesar 14,17 persen, dengan total kasus mencapai 330.097. Jika kita sebagai perempuan mengetahui fakta ini apakah harus diam saja atau bersuara untuk melawan?

Norma-norma patriarki masih kental di tengah masyarakat Indonesia, perempuan dianggap sebagai subjek yang harus tunduk pada laki-laki sehingga penindasan serta perebutan hak terhadap perempuan sering terjadi. Jika melihat menggunakan kacamata sejarah sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, perlawanan yang dilakukan perempuan untuk mengambil hak-haknya telah muncul melalui gerakan perempuan seperti yang dilakukan oleh R.A Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan. Kartini lahir sebagai perempuan Jawa, pada saat itu budaya patriarki sangat melekat pada masyarakat Jawa sehingga ia seringkali melihat ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan. Kartini memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, karena pada saat itu hanya laki-laki dan bangsawan saja yang boleh mengenyam pendidikan.

Tidak berhenti di Kartini saja, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya terus berlanjut. Organisasi Boedi Oetomo mendirkan sebuah organisasi perempuan pertama di Jakarta yaitu “Putri Mardika”. Tujuan utama dari organisasi ini adalah untuk memberikan bantuan, bimbingan, serta memberi pemahaman kepada para gadis pribumi yang berjuang mendapatkan pendidikan. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan membuka ruang bagi perempuan untuk berperan di luar ranah rumah tangga serta menyuarakan pendapatnya di ruang publik. Gerakan ini juga diarahkan untuk menghapuskan pandangan rendah terhadap perempuan dan meningkatkan derajat mereka agar setara dengan laki-laki (Cahyani et al. 2015). Perlawanan yang dilakukan oleh Puri Mardika melalui surat kabar yang diterbitkan. Surat kabar ini sebagai wadah bagi anggota Putri Mardika untuk mengekspresikan pikirannya dan menyuarakan kegelisahannya. Artikel dari surat kabar Putri Mardika tidak hanya perempuan saja, laki-laki pun turut andil dalam menulis sebagai dukungan dalam keserataan gender. Setelah itu semakin banyak organisasi perempuan yang mulai muncul seperti Pawijatan Wanito di Magelang (1915), “PIKAT” Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun di Manado (1917), Purborini di Tegal (1917), Aisyiah di Yogyakarta (1917), Wanito Soesilo di Pemalang (1918), Wanito Hadi di Jepara (1919), dan Wanito Moeljo di Yogyakarta (1920).

Stereotip gender seringkali membatasi ruang gerak perempuan. Meski Indonesia sebagai negara hukum dan melindungi perempuan melalui aturan hukumnya tidak dapat membuat surut kasus kekerasan pada perempuan. Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu pada tragedi 1998, pada masa akhir periode orde baru merupakan periode yang sangat kelam, kekerasan seksual terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Menurut informasi dari laporan TGPF Kerusuhan Mei 1998, mengungkapkan bahwa pelaku melakukan tindakan kekerasan seksual di tempat lokasi penjarahan. Korban tidak hanya dilecehkan secara massal, melainkan juga disiksa dan dirusak sebagian anggota tubuhnya lalu dibunuh dan dibakar. Hukum di Indonesia tampaknya tidak beres dalam membenahi kasus-kasus seperti ini, kasus tragis ini seakan lenyap dari sorotan mata. Anggota relawan, perawat, korban, serta keluarga yang hendak bersuara justru mendapatkan ancaman.

Jika kebebasan perempuan dibatasi, negara tidak akan menuju progres yang lebih maju. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan hilang, suara aspirasi dari perempuan seringkali diremehkan. Padahal kita sebagai perempuan memiliki hak yang sama sebagai rakyat untuk menyuarakan kegelisahan yang tengah dirasakan. Pada era ini banyak perempuan yang mulai aktif bersuara dan bahkan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya, tak hanya perempuan muda saja melainkan banyak ibu-ibu yang ikut bersuara sebagai bentuk perlawanan, seperti pelopor aksi Kamisan yang melibatkan dua perempuan yakni Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Wawan mahasiswa Unika Atmajaya yang tewas dalam peristiwa Semanggi I pada 1998 dan Suciwati, istri dari Munir Said Thalib yang merupakan pejuang HAM, meninggal diracun dalam pesawat penerbangan menuju Amsterdam, Belanda pada 2004.

Di era modern ini teknologi semakin berkembang pesat semakin mudah perempuan dalam melakukan perlawanan. Bentuk perlawanan seringkali mengkritisi pemerintah dilakukan di berbagai sosial media. Namun, tak sepenuhnya tindakan ini dinilai positif, banyak yang menganggap aksi protes di sosial media adalah sebagai ajang FoMo belaka. FOMO (Fear of Missing Out) dalam ranah politik ialah perasaan takut ketinggalan atau tidak ikut terlibat dalam isu-isu yang terjadi dalam dunia politik. Sebenarnya bukan masalah besar jika update mengenai politik padahal tidak sepenuhnya paham. Namun, dalam melakukan perlawanan juga dibutuhkan riset apa yang kita akan sampaikan dalam argumen melawan. Di media sosial banyak perempuan yang bersuara untuk menyampaikan aspirasinya dan kini ramai dengan tagar #HidupPerempuanyangMelawan ketika aksi “Kamisan” dan “Indonesia Gelap” berlangsung, mereka berbondong-bondong untuk meramaikan tagar tersebut sebagai seruan, meski alasannya hanya sekadar FoMo, tindakan ini tidak akan merugikan dan membawa dampak negatif. Meski perlawanan yang dilakukan hanya perang di sosial media dengan tindakan kritis dapat membawa pengaruh besar terhadap perubahan. Sebagai Perempuan, kita wajib melek terhadap isu-isu sosial apalagi yang melibatkan perempuan. Dengan melakukan perlawanan atas diskriminasi yang ada dapat membuktikan kita mempunyai rasa kepedulian terhadap perempuan yang lain atau women support women.

Daftar Pustaka
Cahyani, S. T. F., & Swastika, K. (2015) PERJUANGAN ORGANISASI PEREMPUAN INDONESIA MENUNTUT HAK.
Jumaidi, S., & Nailufar, N. N. (2023) Kekerasan Seksual Kerusuhan 1998: Korban, Pelaku, dan Upaya Pengungkapan. Diakses pada 8 April 2025 dari https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/12/100000779/kekerasan-seksual-kerusuhan-1998-korban-pelaku-dan-upaya-pengungkapan
Millett, K. (1970). Sexual politics. Garden City, NY: Doubleday.

 

Penulis: Diah Silvi Salsabila

Penyunting: Ibrahim Ulin Nuha

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 29 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kurikulum Merdeka: Antara Harapan dan Tantangan

19 April 2025 - 22:08 WIB

Menggugah Kesadaran: Transformasi Pendidikan untuk Generasi Masa Depan

16 April 2025 - 09:25 WIB

Ilustrator dan AI: Akankah menjadi Kolaborasi atau Kompetisi?

2 Maret 2025 - 20:29 WIB

Kesuksesan Karier: Lebih Penting Skill atau Sikap?

2 Maret 2025 - 20:19 WIB

Pandawara Group: Ajak Indonesia Keluar dari Zona Darurat Sampah

24 Februari 2025 - 13:52 WIB

Menjadi Mahasiswa Seutuhnya: Harmoni Akademik, Organisasi, dan Peran Sosial

24 Februari 2025 - 12:32 WIB

Trending di Opini