Oleh: Vika Aulia Rohmah
(1)
Sajak ini kutulis tepat setelah serangga pagi mengemas sunyi.
Saat runduk padi kian tunduk lagi,
dibangunkannya surya di sebuah celah,
menyalami kaki-kaki di pematang kecil sudut negeri, pengais derma limpahan surga
Bersama bayu, sang bunga membisiki,
“Berapa fajar lagi yang harus kucumbui agar lekas kau pangkas aku dari petak ini?”.
(2)
Pada sesulam cerita malam, di tengah derap langkah menuju payah.
Sepasang roda gerigi mendecitkan diri.
Katanya, Ia dicipta dari remahan asa seorang puan dari kejauhan
yang pergi ketika embun mengering dan kembali saat jalan-jalan sudah hening.
Bersama purnama di lantai dua puluh dua
dipandangnya sebingkai mutiara di sudut tempatnya merebah
direngkuhnya sepasang mata penuh kaca
diraihnya serajut sepi sekali lagi sembari memeluk sisa hati
yang menemani menata pagi metropolitan yang berantakan
“Yang tertata sangat serakah”
tulisnya pada bisu jendela
Tidak ada pagi dengan lari-lari pesawah kecil
Tidak ada tawa-tawa lega mereka,
pengupaya hidup terik khatulistiwa
‘Desaku memang indah
Dari titikku berada, kian sarat cantiknya
Tapi kotaku menyenangkan, sungguh,
mengajari berjuang dan bertahan di bawah kerinduan,
mengasuh gadis negeri seberang tanpa tangisan.’
Ucapnya pada lelap semesta,
dibiarkannya pergi tanpa permisi.
Lumajang, 15 Juni 2019