Pena Pijar, Opini – Tak hanya di ruang umum, pelecehan seksual kerap terjadi di sosial media. Motif pelecehan seksual di sosial media berupa komentar-komentar negatif yang diberikan kepada korban. Dalam kasus pelecehan seksual masih banyak stigma-stigma yang melekat pada masyarakat, salah satunya yaitu stigma terhadap korban. Banyak orang berpendapat bahwa pelecehan seksual yang terjadi penyebabnya ialah korban itu sendiri. Korban dianggap mengundang komentar-komentar negatif tersebut karena memakai pakaian yang terbuka. Apakah hanya karena memakai pakaian terbuka maka pantas untuk dilecehkan?
Tidak ada korelasi antara cara berpakaian wanita dengan pelecehan seksual yang dialaminya. Pelecehan seksual tak hanya terjadi karena wanita berpakaian terbuka, bisa saja terjadi karena para pelaku pelecehan seksual menyukai hal pornografi. Video porno dapat menjadi bahan bakar bagi seseorang untuk melakukan pelecehan seksual di media sosial. Seseorang yang kecanduan menonton video porno akan memiliki pemikiran ingin melakukannya. Mereka terbiasa menonton video porno yang dapat menimbulkan pemikiran mesum apabila melihat kondisi korban. Namun, hal ini juga tergantung pola pikir setiap pelaku.
Pelaku berdalih menjadikan komentar-komentar negatif tersebut sebagai bahan lelucon. Hal seperti ini seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai bahan lelucon. Kita seharusnya memiliki etika dalam berucap di sosial media. Terlebih lagi korban bukan hanya wanita muda saja, melainkan banyak anak usia dini, sehingga perkataan berbau pornografi tersebut tak pantas untuk diberikan.
Orang yang memberikan komentar negatif berbau pornografi dapat dikenai pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022, dengan hukuman penjara 9 bulan dan denda 10 juta rupiah. Media sosial memang rawan menjadi tempat pelecehan seksual, tetapi di samping itu media sosial dapat menjadi wadah untuk para korban bersuara mengenai pengalamannya. Dari sekian banyaknya kasus pelecehan seksual di media sosial selama ini, banyak korban yang berbagi pengalamannya melalui Twitter karena dianggap lebih cepat diketahui oleh khalayak umum. Para korban berbagi pengalaman ini supaya semua orang khususnya wanita dapat lebih berhati-hati dalam bersosial media.
Kasus pelecehan seksual tidak dapat dihentikan hanya dengan wanita memakai pakaian yang tertutup, akan tetapi pelecehan seksual dapat dihentikan jika semua orang berhenti menjadi pelaku. Semua orang harus memiliki kesadaran diri untuk mencegah hal tersebut, maka dari itu tidak menjadi pelaku adalah cara untuk menghentikan segala macam pelecehan seksual dalam media sosial.
Penulis: Susilowati Dewi
Penyunting: Putri Sabrina A.