Pena Pijar, Jember – Langkah Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor sebesar 32% terhadap barang dari Indonesia memunculkan perdebatan baru dalam hubungan dagang antarnegara. Kebijakan ini tentu bukan kabar baik bagi para pelaku ekspor nasional, terutama sektor industri yang selama ini mengandalkan pasar AS sebagai tujuan utama. Namun, daripada hanya mengeluh, momen ini justru dapat menjadi titik balik untuk melihat ulang arah strategi perdagangan Indonesia.
Masalah tarif memang bukan hal baru dalam dinamika ekonomi internasional. Tapi ketika negara sebesar AS mengambil langkah setegas ini, artinya kita dihadapkan pada tantangan nyata yang tak bisa dianggap remeh. Dampak langsungnya adalah produk kita bisa kalah bersaing dari sisi harga, efek jangka panjangnya bisa melemahkan sektor produksi dalam negeri jika tidak segera diantisipasi.
Meski begitu, ini bukan waktunya untuk pesimis. Justru, situasi ini bisa menjadi pemicu untuk membuka mata terhadap potensi lain di luar AS. Dunia tidak berputar di satu poros. Kawasan Asia Selatan, Afrika, hingga Timur Tengah menawarkan peluang yang belum tergarap maksimal. Diversifikasi pasar harus menjadi prioritas agar ketergantungan terhadap satu negara tidak menjadi titik lemah.
Lebih jauh lagi, kualitas produk dan kreativitas industri dalam negeri perlu didorong secara nyata. Kita tidak bisa hanya bersandar pada harga murah; sudah saatnya produk Indonesia dikenal karena inovasi, keberlanjutan, dan daya saingnya. Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung hal ini, baik melalui regulasi yang berpihak maupun kerja sama internasional yang strategis.
Kenaikan tarif dari AS memang menjadi pukulan awal. Tapi jika ditanggapi dengan strategi yang tepat, justru bisa menjadi kesempatan emas. Inilah waktunya Indonesia berdiri tegak, menunjukkan bahwa kita bukan sekadar mitra dagang, tapi pemain penting dalam ekonomi global. Badai boleh datang, tapi arah layar ada di tangan kita sendiri.
Penulis: Fidelya Devina Wardhani
Penyunting: Ibrahim Ulin N.