Pena Pijar, Artikel — Cukup banyak orang yang mempertanyakan untuk apa perempuan sekolah tingi-tinggi? karena menurut mereka akhir hidup perempuan akan berada di dapur alias menjadi ibu rumah tangga. Namun, harus kita ingat bahwa kelak perempuan ini adalah seorang ibu yang melahirkan anak. Ibu adalah kunci dari segala pendidikan. Anak akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu sehingga untuk menjadi seorang ibu harus memiliki wawasan yang luas dengan memahami bagaimana mendidik anak dengan nilai-nilai tata krama yang mampu menghantarkan keturunan ke gerbang kesuksesan.
Mayoritas orang beranggapan bahwa perempuan tidak harus memiliki jenjang pendidikan tinggi karena pada akhirnya juga akan bermuara di dapur. Henry Manampiring (2015) berpendapat bahwa pentingnya perempuan berpenddikan tinggi karena mungkin sesudah menikah 10 tahun kemudian suamimu memutuskan untuk punya simpanan perempuan yang 20 tahun lebih muda, atau menceraikan kamu dan nikah lagi, maka dengan berpendidikan tinggi kita masih bisa mandiri dan tidak pasrah menangis memohon untuk dikasihani dan tetap dinafkahi. Perempuan berpendidikan tinggi punya kemampuan mandiri sebagai backup plan. Beliau menjelaskan betapa pentingnya seorang perempuan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya sepanjang dia mampu, dengan alasan utama bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup ini. Masalahnya, banyak sekali perempuan masih menderita dengan sebutan “Princess Mentality” princess di sini merujuk pada kisah putri di negeri dongeng yang menantikan pangeran berkuda putih untuk datang dan menyelamatkannya (menikahinya), dan kemudian seolah-olah semua masalah hidup akan selesai. Tugas si pangeran inilah untuk menafkahi si putri, menyediakan tempat tinggal, menyediakan kuda atau mobil, serta membayar jalan-jalan. Sang princess cukup duduk manis karena semua rezeki dan kenikmatan hidup menjadi tanggung jawab si pangeran.
Hanya di kisah dongeng mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya. Di kehidupan nyata, tidak ada jaminan pernikahan bertahan abadi. Data kementrian Agama tahun 2014 menunjukkan tingkat penceraian sudah mencapai lebih dari 10%, artinya terjadi 1 satu kasus gugatan cerai untuk 10 pernikahan yang terjadi di tahun itu. Kandasnya pernikahan adalah bagian dari kehidupan nyata. Kita tidak bisa memiliki kepastian apapun dalam hidup ini, selain kematian dan kena pajak.
Penulis: Ica Anes Arista
Penyunting: Putri Sabrina A.