Menu

Mode Gelap
 

Opini · 13 Apr 2022 15:39 WIB ·

Cerita di Balik Tugu  


 (Sumber Foto: Shutterstock) Perbesar

(Sumber Foto: Shutterstock)

Pena Pijar, Opini – Perkenalkan, saya Amalu Binniyat Anti-korup, salah satu mahasiswa di Universitas Huru-Hara. Saya sebagai mahasiswa yang buta mata, akan sedikit mendongeng tentang kampusku yang katanya idaman para siswa-siswi di luar sana.

Selama ini kampusku yang katanya tercinta seakan berubah menjadi sebuah taman bermain yang esensinya hanyalah sebuah kesenangan belaka. Entah kesenangan siapa yang dipentingkan di sana? Mahasiswa, karyawan atau dosen yang mendapat amanah sebagai nahkoda – nahkoda perkapalan Universitas Huru-Hara.  Sebagai mahasiswa yang buta mata tapi tidak buta pemikiran perihal hal-hal seperti itu saya sedikit, tapi hampir banyak prihatin tentang kampusku yang menjadi taman bermain. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga manifesto perubahan global, baik tatanan sikap, keterampilan, maupun pengetahuan justru menjadi ladang bercocok tanam bagi para bos petani yang merefleksikan ketidak etisan hakikat kampus sebagaimana mestinya.

 Sikap, dalam hal ini sikap yang dimaksud adalah etika warga kampus yang justru mencerminkan dirinya sebagai yang paling beretika (menurut mereka sendiri). Padahal berbicara penilaian etika adalah bagaimana orang lain menghargai seberapa murah atau seberapa mahal etika tersebut. Jika mahal, maka yang lebih murah akan tunduk padanya. Tapi jika murah dan justru melabeli dirinya sebagai yang paling mahal, jangan berharap semut yang kecil pun akan tunduk, justru akan beramai-ramai mengerumuni dirinya sambil menggigiti apapun yang manis dari dirinya, termasuk janji yang manisnya tiada tara. Dalam hal ini, sikap yang dihargai mahal akan menjadi panutan bagi mereka yang murah. Sehingga terciptanya kesetaraan sikap mahal yang akan menjadi identitas bahwa kampusku adalah kampus yang berlabel mahal. Dalam artian mahal bukan mahal luarnya saja, tapi dalamnya juga mahal sampai tidak ada yang lebih mahal atau lebih murah darinya.

Keterampilan, menurut Eiji Yoshikawa seorang novelis konvensional jepang mengatakan bahwa menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang menguasai satu keterampilan, dia telah menguasai seluruh ilmu. Pertanyaannya adalah keterampilan seperti apa yang dimiliki dan diterapkan?. Keterampilan yang merugikan atau yang menguntungkan?. Maksudnya merugikan bagi orang lain atau menguntungkan bagi dirinya sendiri. Ternyata keduanya sama saja, sama-sama asik untuk ditelaah. Secara objektif, keterampilan yang dimaksud adalah bagaimana keterampilan yang dimiliki minoritas dapat berguna untuk mayoritas (kemaslahatan warga kampus atau beyond that). Sejauh ini, perbandingan individu yang memiliki keterampilan untuk maslahat sangat lebih sedikit daripada keterampilan individu yang diperuntukkan untuk golongannya sendiri dan bahkan dirinya sendiri. Jika diprosentasekan, maslahat 20%, golongan 45%, dan individu 35%. Entah aneh atau tidak aneh, tapi bisa dikatakan lumrah, hal ini juga dilakukan oleh beberapa dosen yang ternyata sangat berkepentingan dalam hal golongan maupun individu. Terlebih dosen yang fanatik dan sedang berada pada puncak kekuasaan golongannya. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan juga ketika sedang berada pada puncak kekuasaan golongan, masih banyak yang memikirkan baik kemaslahatan masyarakat kampus maupun luar kampus. Sebenarnya keterampilan ini yang dibutuhkan dan dijadikan patron atas budaya kampus. Namun apalah daya dari 100% prosentase kebiasaan, kebaikan hanya kebagian 20%, sedangkan sisanya no comment. Ada yang bilang praktik seperti ini adalah bentuk pembelajaran bagi mahasiswa dalam masa perkuliahan. Cukup rasional jika dikaitkan dengan proses belajar bersosial. Tapi pertanyaannya adalah ketika itu dilakukan hingga menjadi kebiasaan oleh derajat yang lebih tinggi dari mahasiswa. Entah apa itu namanya, apakah itu hasil yang diharapkan dari yang katanya proses belajar bersosial ? Jika memang iya, berarti nantinya kurikulum. kampus harus menyantumkan indikator keberhasilan mahasiswa, yaitu terciptanya alumni yang pandai, cerdik, dan gesit dalam berkepentingan?.

Pengetahuan, setelah berkeluh kesah dengan sikap dan keterampilan ada juga yang menjadi salah satu ciri khas perkampusan sebagai manifesto perubahan global, yaitu pengetahuan. Dunia kampus sebenarnya hampir 80% selalu mencetak generasi-generasi yang berpengetahuan peradaban dalam hal apapun. Wawasan – wawasan seorang mahasiswa memang tidak perlu diragukan lagi. Dilihat dari segi manapun, seorang mahasiswa adalah cerminan intelektual suatu bangsa. Namun percaya atau tidak, terkadang intelektualitas (kritis dan transformatif) mahasiswa dibunuh oleh sistem hirarki dan birokrasi kampus. Bagaimana tidak, hari ini (entah yang dulu bagaimana) sistem kampus seakan subjektif dalam menilai seorang mahasiswa, sehingga ini benar-benar membunuh proses dan hak mahasiswa yang seharusnya diperoleh. Contoh kecil adalah kurangnya bentuk apresiasi terhadap mahasiswa yang berprestasi, entah dana pembinaan atau hal lain yang sifatnya penunjangan dan pengembangan. Jika hanya dibuatkan banner atau pamphlet untuk eksistensi semata, menurutku itu hanya sebuah formalitas untuk menunjukkan bahwa ini adalah mahasiswa yang berprestasi dan itu akan mengharumkan kampus. Nah pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya kampus juga memberi wangi – wangian padanya agar tetap harum di luar sana?. Contoh lain adalah dalam registrasi atau pendelegasian untuk beasiswa ternama yang menekankan pada mahasiswa berprestasi. Jika si mahasiswa tidak mengenal atau mempunyai orang dalam tataran birokrat, se-pinter dan se – pandai apapun akan tetap kalah dari mahasiswa yang sudah akrab dengan birokrat. Tapi itu terkadang sih, tapi agar lebih mantap bisa dicoba. Memang masalah-masalah di atas adalah out put dari mahasiswa yang berpengetahuan. Tapi real, ini terjadi. Lagi-lagi subjektifitas seseorang dalam menilai seseorang menjadi sebuah permasalahan yang pelik. Ada yang bilang harus objektif ke semua orang, tapi nyatanya dia subjektif atas dasar golongan. Parah banget sih. Semoga semua segera disadarkan, termasuk yang sok-sok an menulis seperti ini.

In summary, beginilah kampusku. Kampus yang katanya menjunjung harmoni, justru menjunjung oligarki. Saranku sih, lebih baik kita diam kalau tidak melawan kedigdayaan oligarki tersebut. Tapi jika mampu, untuk mewujudkan kampus yang harmoni, ya harus memberantas oligarki. Kalau tidak bisa memberantas, ya mencubit satu per satu. Setidaknya ada perlawanan meski hanya sebatas satu cubitan.

*) Pimpinan Umum UKPM Pijar Pendidikan

Penulis : Anggota Pijar

Editor : Khoirunnisa Az Zahro

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 33 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Benarkah Universitas Impian Menjadi Tolok Ukur Kesuksesan Mahasiswa?

23 April 2024 - 18:59 WIB

Pandai Membaca Manfaat dan Tantangan Teknologi

23 April 2024 - 18:10 WIB

Kecenderungan Perilaku Self-Harm pada Mahasiswa

29 Februari 2024 - 21:47 WIB

Menjadi Warga Bijak dengan Pemilu

13 Februari 2024 - 05:55 WIB

Membangun Citra: Pentingnya Personal Branding di Era Digital

11 Februari 2024 - 22:06 WIB

Perubahan Karakteristik Seorang Paslon dalam Berkampanye untuk Menutupi Masalah Politik Terdahulu

8 Februari 2024 - 19:48 WIB

Trending di Opini